​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer

​​​​​​​Status Staat van Oorlog en Beleg membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Istilah korupsi pertama kali muncul dalam makna yuridis.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Paran I

Pembubaran Bapekan tak lepas dari gesekan antar lembaga yang fungsinya beririsan. Ketika Bapekan baru berusia setahun, Presiden Soekarno –melalui Kepres No. 10 Tahun 1960—membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran dipimpin oleh AH Nasution dibantu dua anggota: M. Yamin dan Roeslan Abdulgani.

 

Dituliskan Vishnu Juwono dalam bukunya, Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, Soekarno menghendaki agar Paran fokus pada indoktrinasi gegap gempita revolusioner, sedangkan Nasution  ingin fokus pada  reformasi tata kelola pemerintahan terutama reorganisasi, manajemen personel, dan pemberantasan korupsi.

 

Paran berada di balik lahirnya Perpres No. 5 Tahun 1962 tentang Peraturan Tata Tertib Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tinggi. Paran juga mewajibkan para pejabat negara mengisi formulir berisi data kekayaan.

 

Irisan tugas dengan Bapekan membuat gesekan antara kedua lembaga. Presiden Soekarno memilih membubarkan Bapekan pada 1962. Tetapi Paran I juga tak berusia panjang. Sebagian pejabat negara menolak mengisi formulir daftar kekayaan. Mereka beralasan para pejabat tinggi negara bertanggung jawab langsung ke Presiden. Kalaupun formulir diisi, tak selayaknya diserahkan ke Paran, melainkan kepada Presiden.

 

Gesekan kelembagaan tak terhindarkan ketika Paran secara terbuka menyebut ingin meretooling Bapekan. Lagipula, Paran akhirnya lebih fokus pada indoktrinasi, dan Presiden lebih memberikan kepercayaan kepada Roeslan Abdulgani sebagai juru bicara. Beberapa usulan Nasution ditolak kabinet. Secara personal, Nasution juga diserang oleh kelompok PKI dengan menyebarkan tuduhan bahwa Nasution ingin menyaingi Presiden Soekarno. Lambat laun posisi dan kewenangan Nasution mulai dipreteli.

 

Salah satu payung hukum yang dihasilkan pada era ini adalah Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

 

Paran II/Operasi Budhi

Meskipun dilucuti, Nasution masih bersemangat untuk melakukan pemberantasan korupsi, melalui operasi militer yang bernama Operasi Budhi. Selain merujuk pada UU No. 24 Prp Tahun 1960, payung hukum Operasi Budhi dalah Keputusan Presiden No. 277 Tahun 1963 tentang Gugus Tugas Operasi Budhi. Sebelumnya, operasi Budhi hanya diatur melalui SK Wakil Menteri Pertama Bidang Hankam. Misi operasi ini adalah mencegah dan menindak pelaku korupsi di perusahaan neegara dan lembaga pemerintah. Untuk mendukung tugas-tugas operasional, Nasution membentuk komite ahli. Komite ini menyusun daftar pertanyaan untuk dijawab para direksi perusahaan negara, menanyakan kinerja keuangan perusahaan, dan mewajibkan para direksi melaporkan kekayaan.

Tags:

Berita Terkait