​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

​​​​​​​Kebijakan Antikorupsi dari Penguasa Militer

​​​​​​​Status Staat van Oorlog en Beleg membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Istilah korupsi pertama kali muncul dalam makna yuridis.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, Pengadilan Tinggi diberi wewenang untuk memeriksa harta benda seseorang. Ini adalah upaya untuk mengembalikan kerugian negara melalui jalur perdata. Caranya ada dua: Badan Penilik Harta Benda berhak menilik harta seseorang atau badan jika menduga harta itu diperoleh dari hasil korupsi; dan badan Penilik Harta Benda dapat menyita dan merampas harta benda seseorang  yang kekayaannya berdasarkan penyelidikan Badan, tidak seimbang dengan penghasilannya.

 

Beberapa Peraturan Antikorupsi yang Diterbitkan Militer Indonesia (1957-1958)

  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-08/1957 tentang Penilikan Harta Benda.
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum.
  • Peraturan Penguasa Militer No. PRT/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Korupsi dan Penilikan Harta Benda.

 

Bapekan

Untuk mencegah korupsi di lingkungan birokrasi, Nasution mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk suatu badan yang bertugas mengawasi kinerja aparatur negara. Presiden setuju usul Nasution dan pada 28 September 1958 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan Tugas Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara, disingkat Bapekan.

 

Selain itu diterbitkan Perpres No. 1 Tahun 1959, Keputusan Presiden No. 230 Tahun 1959 tentang Sekretariat Bapekan. Nama-nama tokoh nasional seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, Letkol Soedirgo, dan Selo Soemardjan ada di lembaga ini. Selo Soemardjan yang kemudian dikenal sebagai sosiolog adalah Sekretaris Bapekan. Keputusan Presiden No. 178 Tahun 1959  menempatkan Ketua Bapekan berkedudukan setingkat menteri.

 

Bapekan bertugas menerima pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang dilakukan aparatur negara. Nasution menjelaskan dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama (1989) Bapekan juga bertugas mengawasi, meneliti, dan mengajukan pertimbangan kepada Presiden mengenai kegiatan aparatur negara. Termasuk pula menerima dan menyelesaikan pengaduan atas penyimpangan yang dilakukan aparatur negara.

 

Pembentukan Badan ini mendapat respons positif dari masyarakat. Buktinya, banyak laporan yang masuk ke Tromol Pos 8. Baru setahun berdiri, Bapekan sudah menerima tak kurang dari 912 berkas pengaduan. Beberapa kasus yang dilaporkan adalah kekayaan aparatur negara yang tidak wajar, penyimpangan di instansi militer, dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang gubernur di Kalimantan. Termasuk juga pencurian uang Rp40 juta dari kantor Bea Cukai Jakarta sepanjang 1950-1960, dan pencurian uang koperasi di Bank Aparatur Negara di Karo.

 

Usia Bapekan hanya sampai 1962. Presiden Soekarno membubarkan Bapekan melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 1962. Sebelumnya Presiden memberhentikan dengan hormat Ketua Bapekan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan pengurus lain Samadikoen dan Semaun. Saat dibubarkan, usia Bapekan belum genap tiga tahun. Salah satu yang membuat Bapekan dibubarkan adalah ketika badan ini ingin ‘menyelidiki’ dugaan korupsi dalam proyek pembangunan fasilitas olahraga menjelang Asian Games 1962.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait