Kasus Perundungan dan Keadilan Restoratif untuk Anak
Kolom

Kasus Perundungan dan Keadilan Restoratif untuk Anak

Sesungguhnya kita semua turut bertanggung jawab mencegah situasi anak-anak berhadapan dengan hukum. Jika sudah telanjur terjadi, tanggung jawab kita pula ikut mencari penyelesaian yang adil.

Bacaan 6 Menit
Kasus Perundungan dan Keadilan Restoratif untuk Anak
Hukumonline

Kasus perundungan (bullying) di SMA Binus International School Serpong, Tangerang Selatan memasuki babak baru. Penyidik telah menetapkan empat orang tersangka dan delapan orang anak yang berkonflik dengan hukum dalam kasus tersebut. Temuan sementara mengarah pada pelanggaran ketentuan sejumlah pasal dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU Kekerasan Seksual).

Pertama, Pasal 76 C UU Perlindungan Anak yang mengatur larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Kedua, Pasal 170 KUHP yang melarang setiap orang yang dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang. Kemungkinan terakhir adalah melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Kekerasan Seksual yang mengatur larangan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban berupa perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya (pelecehan seksual non fisik).

Baca juga:

Berdasarkan pemberitaan media massa, empat)orang tersangka dan tujuh orang anak yang berkonflik dengan hukum diduga melanggar ketentuan pertama dan kedua. Sementara itu, ada satu orang anak yang berkonflik dengan hukum diduga melanggar ketentuan pertama, sampai ketiga.

Terminologi “perundungan” atau “perisakan” kerap digunakan sebagai terjemahan dari istilah bullying. Namun, istilah ini belum dikenal dikenal dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Dihimpun dari pendapat para ahli, bullying secara umum dapat diartikan sebagai tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya.

Makna itu dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan praktik penegakan hukum biasa disamakan dengan kekerasan yang salah satunya diatur UU Perlindungan Anak. Ketentuan Pasal 1 UU Perlindungan Anak misalnya menyebutkan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Perlu untuk mengingat bahwa anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang rawan terlibat dalam perilaku menyimpang perundungan. Lantas, bagaimana seharusnya sistem peradilan pidana bekerja dalam kasus perundungan oleh anak yang berhadapan dengan hukum?

Diversi Wajib Diupayakan

Hukum Indonesia telah mengatur jika terduga pelaku kejahatan adalah anak, proses hukum harus mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

UU SPPA mengenal terminologi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) meliputi anak yang diduga melakukan tindak pidana (anak yang berkonflik dengan hukum), anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban), dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi). anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Sementara itu, kategori anak korban dan anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun.

Salah satu kekhususan yang diatur dalam UU SPPA adalah dikenalnya mekanisme diversi. Ini adalah mekanisme pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-undang mengatur diversi wajib diupayakan mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum di pengadilan. Namun, undang-undang juga membatasi penggunaannya. Diversi hanya dapat dilaksanakan untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara di bawah tujuh tahun dan perbuatan yang dilakukan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Selain UU SPPA, terdapat pula Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Sayangnya peraturan ini tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai syarat diversi. Ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Perma 4/2017) kemudian memberikan peluang lain. Diversi masih bisa dilakukan bagi anak yang dengan dakwaan subsideritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), dengan syarat ancaman hukuman di salah satu dakwaan masih di bawah tujuh tahun penjara.

Syarat Diversi yang diatur dalam UU SPPA dan peraturan pelaksanaannya pada akhirnya membuka ruang perbedaan pemahaman dan interpretasi para aparat penegak hukum. Terjadi perbedaan praktik diversi di lapangan. Khususnya terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang tidak didakwa dengan dakwaan tunggal berisi ancaman pidana di bawah tujuh tahun penjara.

Keadilan Restoratif

Sistem peradilan pidana—sebagai bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan menggunakan hukum pidana—pada prinsipnya bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan. Tujuannya kejahatan tetap berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem peradilan pidana juga bertujuan untuk mencapai resosialisasi (pemasyarakatan narapidana), pencegahan kejahatan dan kesejahteraan sosial.

Dalam realita, tujuan ideal dari sistem peradilan pidana ini kerap kali berhadapan dengan beragam hambatan. Hasil yang ingin dicapainya itu sendiri bahkan menimbulkan berbagai permasalahan baru. Beberapa persoalan yang muncul dalam sistem peradilan pidana antara lain: kriminalisasi berlebihan dan menurunnya wibawa hukum pidana, tujuan pemidanaan yang tidak jelas, kurangnya profesionalisme aparat penegak hukum, disparitas pidana, kurangnya perhatian terhadap korban kejahatan, stigmatisasi secara sosial, dan pemenjaraan. Persoalan yang terakhir bahkan erat kaitannya dengan tingginya angka pengulangan tindak pidana.

Ada persoalan lain yang juga krusial dalam konteks pembahasan keadilan restoratif. Sesungguhnya secara substansial sistem peradilan pidana tidak mampu memulihkan relasi antara pelaku, korban dan masyarakat atau pihak terdampak lainnya. Konsep keadilan restoratif kemudian muncul sebagai reaksi atas kegagalan sistem peradilan pidana mencapai tujuannya.

Salah satu prinsip keadilan restoratif yaitu partisipasi aktif semua pemangku kepentingan (pelaku, korban dan masyarakat terdampak) dalam suatu forum informal yang demokratis untuk menemukan solusi yang positif. Proses diversi dalam UU SPPA telah sejalan dengan prinsip tersebut. Diversi dilakukan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil. Diversi menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula alih-alih pembalasan. Proses ini dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional. Jika diperlukan, musyawarah juga dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

Proses Diversi yang berhasil mencapai kesepakatan dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Bentuknya antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), atau pelayanan masyarakat. Sebaliknya, apabila proses diversi tidak berhasil atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum dilanjutkan.

Penjelasan Umum UU SPPA mengungkap tujuan penerapan pendekatan keadilan restoratif dan diversi adalah untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan. Ini adalah cara menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Anak diharapkan dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Jadi, diversi tentu bukan hanya persoalan kuantitas namun juga kualitas. Kemampuan penegak hukum memfasilitasi diversi menjadi sesuatu yang krusial. Mereka sebagai fasilitator utama dalam melakukan mediasi dan negosiasi dalam proses diversi. Mereka pula yang harus paling memahami asas kepentingan terbaik bagi anak. Diversi juga tidak dapat disederhanakan sebatas hanya sebagai penghentian perkara. Lebih jauh dari itu, proses diversi juga bertujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Menguatkan posisi tawar anak dengan dukungan pihak-pihak yang menjadi pendamping anak sehingga juga menjadi sama pentingnya. Kesepakatan diversi harus tidak merugikan baik bagi anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban. Selain itu, akuntabilitas dampak kesepakatan diversi bagi ABH juga harus diperkuat.

Pemulihan, Bukan Pembalasan

“Pemulihan dan bukan pembalasan” menjadi kunci dalam penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. UU SPPA menegaskan pemulihan bukan hanya menjadi hak anak korban, namun juga anak yang berkonflik dengan hukum dan anak saksi. Keadilan restoratif harus proporsional memikirkan kepentingan seluruh pihak terdampak.

Kejahatan dipahami sebagai suatu sengketa atau konflik yang merusak hubungan antarindividu dan masyarakat. Jadi, pemulihan yang dimaksud setidaknya meliputi rehabilitasi medis dan psikososial, serta rehabilitasi sosial yang berujung pada reintegrasi sosial. Upaya rehabilitasi dan reintegrasi ini tentu harus didukung sumber daya yang memadai.

Semangat UU SPPA untuk semaksimal mungkin mencegah Anak mengalami penahanan dan penjatuhan pidana penjara juga harus didukung dengan alternatif penahanan dan pidana lain diluar pidana penjara. Selain itu, diperlukan mekanisme evaluasi dan pemantauan untuk mengukur keberhasilan SPPA yang wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dalam menanggulangi kejahatan.

Kita sepakat bahwa perundungan merupakan kejahatan yang harus ditangani secara serius dan kemarahan kita pada pelaku adalah sesuatu yang sangat dapat dipahami. Namun, menjatuhkan hukuman seberat-beratnya (pembalasan) pada pelaku yang sesama anak bukan solusinya. Memaknai pemenuhan rasa keadilan bagi korban dengan pembalasan demikian tidak menyelesaikan persoalan.

Penyebab utama seorang anak berhadapan dengan hukum bukan karena pilihan rasional yang bersangkutan tapi lebih karena beragam faktor di luar dirinya. Sesungguhnya kita semua turut bertanggung jawab mencegah situasi anak-anak berhadapan dengan hukum. Jika sudah telanjur terjadi, tanggung jawab kita pula ikut mencari penyelesaian yang adil. 

Mencegah perundungan di kalangan anak menjadi tanggung jawab semua pihak Mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat hingga pemerintah. Upaya ini demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak sebagai hak asasi paling mendasar yang harus dilindungi.

*)Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H., Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait