​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis

Seorang teosof Belanda yang namanya disebut dalam pendirian Boedi Oetomo dan pergerakan nasional Indonesia pernah menerbitkan sebuah kamus hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Indra juga tidak mengetahui mengapa Labberton menulis kamus hukum adat itu dalam bahasa Perancis. Setiap kata bahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, dan kadang disinggung bahasa Jawa dan Belanda. Penulisan kamus hukum Indonesia dalam bahasa Perancis menjadi unik karena umumnya kamus hukum di Indonesia dihubungkan dengan bahasa Belanda. Dalam dunia hukum Indonesia, ada beberapa istilah yang lazim dikenal seperti espirit d’corps (dipakai untuk menyebut semangat membela korps), dan detournement de pouvoir.

 

(Baca juga: Inilah Generasi Pertama Orang Indonesia Lulusan Sekolah Hukum)

 

van Vollenhoven

Dalam kata pengantar kamus ini, Labberton memuji Cornelis van Vollenhoven, seorang Belanda yang di Indonesia dikenal sebagai Bapak Hukum Adat. Labberton menulis dalam bahasa Perancis bahwa rencana pembuatan kamus ini tak lepas dari nama van Vollenhoven, dosen Universitas Leiden yang mengembangkan kajian tentang hukum adat: “La plan de ce dictionnaire a ete concu par feu Monsieur C van Vollenhoven, professeur de droit a l’Universite de Leyde, et le grand animateur des ‘etudes de droit coutumier Indonesien”.

 

Sebutan ‘Bapak Hukum Adat’ terhadap van Vollenhoven tidak lepas dari peran pria kelahiran Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874 itu. Jejaknya dimulai ketika masuk Universitas Leiden pada usia 17 tahun, dilanjutkan pada magister bidang hukum pada 1895. Setahun kemudian lulus gelar sarjana Semitik, disusul magister ilmu politik pada 1897. Pada usia 27 tahun, van Vollenhoven dikenal sebagai ahli Hukum Konstitusi dan Administrasi Seberang Lautan Belanda serta Hukum Adat Hindia belanda. Pada bidang yang terakhir ini van Vollenhoven diangkat sebagai professor pada 1901. Salah satu hasil karya monumentalnya adalah berjilid-jilid buku ‘Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie. Dari karya inilah diperkenalkan 19 lingkungan adat di wilayah Hindia Belanda.

 

Mengingat karya Labberton ini lebih sebagai kamus hukum adat, maka banyak lema yang sebenarnya istilah umum, dimasukkan sebagai kata bermakna hukum. Misalnya, lema ‘abang’ (frere aine ou soeur ainee, terme poli pour accoster un indigene de Batavia parlant le malaise); atau istilah ‘koeria’ yang bisa bermakna saksi, janjian, distrik Batak, le tribunal de conseil de village, en Angkola et Sipirok. Contoh lain, kata ‘kebiasaan’ diartikan sebagai le coutumes et institutions immemoriales, dan de aloude gewoonten en instellingen

 

(Baca juga: 101 Tantangan Peradilan di Mata President Hoge Raad Belanda)

 

Selain kamus hukum tersebut, Labberton juga mewariskan sejumlah karya lain seperti Het Javaansch van Malang-Pasuruan (1900), Geillustreerd handbook van insulinde (1910), dan Volledige Sanskrta Spraakkunst (1922).

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Soerjono Soekanto ‘meneruskan’ dokumentasi istilah-istilah yang berkaitan dengan adat itu melalui bukunya ‘Kamus Hukum Adat’ (1978). Dari 77 referensi yang dipergunakan, salah satunya adalah kamus hukum Labberton. Termasuk pula referensi langka hukum adat, Adatrechtbundel jilid XXVII (Sumatera, 1928) hingga jilid XXXVI (Borneo, Zuid-Selebes, Ambon, 1933).

 

Kamus ini memuat 4.163 entri. Soerjono mengakui kamus hukum adat yang dia susun semata-mata didasarkan pada kajian kepustakaan, dengan risiko kemungkinan ejaan yang keliru atau kata yang sudah tidak dipergunakan lagi.

 

Labberton, van Vollenhoven, dan Soerjono Soekanto telah tiada. Tetapi mereka telah mewariskan kekayaan kumpulan istilah di bidang hukum adat kepada generasi setelah mereka.

Tags:

Berita Terkait