​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis

Seorang teosof Belanda yang namanya disebut dalam pendirian Boedi Oetomo dan pergerakan nasional Indonesia pernah menerbitkan sebuah kamus hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Kehadiran Labberton dalam sejarah pergerakan nasional pernah dituliskan Akira Nagazumi di majalah Tempo 4 Juni 1988. Dalam tulisannya, ‘Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa, Nagazumi mencatat bahwa Himpunan Teosofi yang dipimpin Labberton termasuk salah satu yang berpengaruh pada gerakan Budi Utomo. Labberton dikenal luas di Hindia, khususnya di Jawa karena ia menjadi Guru Bahasa Jawa di Gymnasium Belanda Willem III, dan menjalin hubungan baik dengan siswa sekolah kedokteran (STOVIA).

 

Nagazumi menulis tentang pidato Labberton pada 16 Januari 1909. Tiga ratusan hadirin mendengarkan ceramah yang disampaikan dalam bahasa Melayu itu, bagaimana Labberton menyampaikan perlunya keselarasan antara moral nasional dan pembangunan peradaban materiil. Isinya menggambarkan kesamaan pendirian tokoh nasional Radjiman Widyodiningrat pada Kongres I Budi Utomo. Tetapi yang kemudian menjadi polemik dan ramai diperbincangkan adalah gaya Labberton yang lebih senang berbicara menggunakan bahasa Melayu dan Jawa ketimbang bahasa Belanda. Gaya ini bertolak belakang dengan pidato pimpinan Budi Utomo yang selalu menggunakan bahasa Belanda. “Penggunaan bahasa Melayu oleh Labberton menimbulkan perbedaan tajam terhadap penggunaan bahasa Belanda terus menerus oleh pimpinan Budi Utomo, seperti Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesoemo, yang dengan latar belakang pendidikan mereka menjadi mahir dalam suatu bahasa asing, namun menjadi tak pandai dalam bahasa ibu mereka sendiri,” tulis Akira Nagazumi (Tempo, 4 Juni 1988).

 

Iskandar juga mencatat Labberton diangkat sebagai presiden dari Nederlandsch Indische Theosofische Vereniging (NITV) pada 15 April 1912. Setelah itu teosofi berkembang di Indonesia, termasuk di Buitenzorg. Keberhasilan teosofi itu dikaitkan dengan upaya propaganda lewat media kesenian seperti wayang, dan acara pertunjukan. Labberton, misalnya, menjadikan wayang sebagai sarana untuk menyebarkan pandangan-pandangan teosofis. Menurut Iskandar, Labberton merupakan tokoh kunci gerakan teosofi di Hindia Belanda.

 

Hukumonline.com

Foto: MYS/Dok.Perpustakaan UI

 

Tercatat pula, Labberton pernah bekerja sebagai sekretaris sebuah departemen di Buitenzorg (1899-1904). Di waktu senggang ia banyak belajar bahasa dan etnologi lokal (taal en volkenkunde), sehingga tak heran ia kemudian menjadi pengajar bahasa Jawa dan Melayu di Jakarta. Ia juga menguasai bahasa Sanskerta, dan menggemari wayang. Wajang dan Gamelan adalah salah satu tulisannya yang dimuat di Pemitran edisi 2 April 1916. Ia bahkan pernah diangkat menjadi anggota Comissie voor de Volkslectuur, sebuah komisi penasehat di Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah.

 

Sejarah juga mencatat Labberton pernah menjadi pengajar bahasa Melayu, Jawa dan Sanskrit di Jepang (1923-1925) setelah ‘terdepak’ dari perpolitikan di Hindia Belanda. Keberangkatan Labberton ke Jepang sejalan juga dengan politik Dai Nippon yang menarik dosen-dosen Eropa untuk mengajar di sana. Pada sekitar tahun 1927-an, para guru besar asal Eropa sudah meninggalkan Jepang. Labberton tetap bertahan, seperti ditulis Abdul Rivai dalam bukunya ‘Student Indonesia di Eropa (2000): “Bangsa Jepang belum ada profesor buat mengajar di sekolah tinggi. Digajinya bangsa Eropa akan jadi profesor. Sekarang tidak ada lagi profesor Eropa seorang juga di Jepang kecuali Prof. Labberton dalam bahasa Melayu’. Ini menunjukkan pula kepiawaian Labberton dalam bahasa-bahasa lokal di Hindia Belanda.

 

Pengetahuannya tentang bahasa lokal, terutama Jawa, itulah yang diyakini Indra ikut memperkaya kamus hukum adat karya Labberton. Namun Indra menduga kamus itu ditulis Labberton di luar dari Hindia Belanda karena sepengetahuannya Labberton tak pernah kembali ke Hindia Belanda setelah ‘terdepak’. “Setahu saya tidak pernah kembali. Bahkan ia meninggal di Amerika Serikat,” jelas Indra.

 

Iskandar tak menceritakan penulisan kamus oleh Labberton. Buku Labberton yang dia jadikan sebagai rujukan De Opkomst van het Mataramschen Brill Bekeken (Bandung, 1906) dan Theosofie in Verband Met Boedi Oetomo (Batavia, 1969).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait