​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Kamus Hukum Langka Warisan Seorang Teosofis

Seorang teosof Belanda yang namanya disebut dalam pendirian Boedi Oetomo dan pergerakan nasional Indonesia pernah menerbitkan sebuah kamus hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Dirk van Hinloopen Labberton (Belakang-ketiga dari kiri). Foto: Repro/MYS/KITLV Leiden
Dirk van Hinloopen Labberton (Belakang-ketiga dari kiri). Foto: Repro/MYS/KITLV Leiden

Buku bersampul biru itu tampak usang, beberapa bagian sudah tampak berlubang. Terletak di rak bawah lantai empat Perpustakaan Universitas Indonesia, buku setebal 732 halaman itu berstatus referensi, sehingga pengunjung hanya bisa membaca di tempat. “Hati-hati ya, bukunya berdebu,” kata petugas perpustakaan ketika hukumonline membuka kamus dimaksud.

 

Di bagian atas sampul buku itu tertulis Union Academique Internationale. Di bagian tengah sampul tertera judul buku dengan menggunakan huruf kapital: DICTIONNAIRE DE TERMES DE DROIT COUTUMIER INDONESIEN. Secara bebas bisa bermakna kamus istilah-istilah hukum adat Indonesia. Dan, inilah salah satu kamus hukum yang ditulis sebelum Indonesia merdeka.

 

Nama penulis dan penerbitnya baru terlihat pada sampul depan bagian dalam. Menggunakan bahasa Perancis, judul lengkap buku itu adalah ‘Dictionnaire de termes de droit coutumier Indonesien, avec six carters hors textes’ karya Dirk van Hinloopen Labberton. Buku ini diterbitkan Martinus Nijhoff tahun 1934, dan tertulis di sana buku ini ‘publie par les soins de l’academie royale des science Amsterdam’ (diterbitkan akademi kerajaan untuk ilmu pengetahuan di Amsterdam). Penulisnya, Labberton, tertulis sebagai ‘docteur-es-lettres et agrege en droit indonesien’. Inilah kamus hukum tertua yang berhasil dilacak hukumonline.

 

Ada empat hal yang dijelaskan Labberton dalam pengantar bukunya (i) nos sources, bahan-bahan yang dipakai; (ii) surete des donnees, data;  (iii) la transcription des mots indigenes, transkripsi bahasa asli; (iv) interpretation des termes indonesiens, terjemahan istilah-istilah Indonesia; (v) mots empruntes, batasan; dan (vi) circonscritions juridique.

 

Berdasarkan mesin pencarian perpustakaan, kamus hukum karya Labberton ini dikategorikan ke dalam rumpun hukum adat. Ditulis dalam bahasa Perancis, Dictionnaire de termes bisa dibilang koleksi langka kamus hukum Indonesia. Apalagi ditulis oleh seorang Belanda yang lama bekerja di Hindia Belanda. “Labberton itu dikenal sebagai seorang teosof,” kata R. Indra Pratama, sejarawan dari Komunitas Aleut! Bandung, saat dihubungi hukumonline melalui sambungan telepon. 

 

Baca:

 

Teosofi

Nama Labberton (1874-1961) disebut Indra sebagai teosof yang terlibat dalam pergerakan nasional. Tokoh pergerakan nasional seperti dokter Cipto Mangunkoesoemo pernah bertemu Labberton. Setidaknya, mereka pernah berada dalam suatu forum Comite voor Javaanse Cultuurontwikkeling di Surakarta pada 1918. Takashi Shiraishi, dalam bukunya Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997: 171), menulis bahwa Cipto banyak mempelajari tradisi Jawa Kuno dan mendalami teosofi di bawah bimbingan Labberton, seorang teosofis dan guru bahasa Jawa terkemuka di sekolah dasar Willem III.

 

Iskandar P. Nugraha, dalam bukunya Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia (2011), bercerita bahwa organisasi teosofi punya peran dalam pergerakan nasional. Organisasi ini tak hanya berisi orang-orang Belanda seperti Labberton, tetapi juga mampu menarik kalangan bumiputera terpelajar untuk masuk ke dalamnya. Kegiatan-kegiatan teosofi di beberapa kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya menjadi tempat berkumpul tokoh-tokof teosofi seperti Labberton dengan calon-calon intelektual bumiputera. Kaum terpelajar dari sekolah kedokteran (Stovia) dan hukum banyak masuk organisasi Teosofi Batavia. “Labberton tampaknya sangat berpengaruh di kalangan terpelajar, terutama dalam rangka pendirian organisasi Boedi Oetomo serta pada aktivitas Boedi Oetomo kemudian,” tulis Iskandar.

 

Kehadiran Labberton dalam sejarah pergerakan nasional pernah dituliskan Akira Nagazumi di majalah Tempo 4 Juni 1988. Dalam tulisannya, ‘Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa, Nagazumi mencatat bahwa Himpunan Teosofi yang dipimpin Labberton termasuk salah satu yang berpengaruh pada gerakan Budi Utomo. Labberton dikenal luas di Hindia, khususnya di Jawa karena ia menjadi Guru Bahasa Jawa di Gymnasium Belanda Willem III, dan menjalin hubungan baik dengan siswa sekolah kedokteran (STOVIA).

 

Nagazumi menulis tentang pidato Labberton pada 16 Januari 1909. Tiga ratusan hadirin mendengarkan ceramah yang disampaikan dalam bahasa Melayu itu, bagaimana Labberton menyampaikan perlunya keselarasan antara moral nasional dan pembangunan peradaban materiil. Isinya menggambarkan kesamaan pendirian tokoh nasional Radjiman Widyodiningrat pada Kongres I Budi Utomo. Tetapi yang kemudian menjadi polemik dan ramai diperbincangkan adalah gaya Labberton yang lebih senang berbicara menggunakan bahasa Melayu dan Jawa ketimbang bahasa Belanda. Gaya ini bertolak belakang dengan pidato pimpinan Budi Utomo yang selalu menggunakan bahasa Belanda. “Penggunaan bahasa Melayu oleh Labberton menimbulkan perbedaan tajam terhadap penggunaan bahasa Belanda terus menerus oleh pimpinan Budi Utomo, seperti Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesoemo, yang dengan latar belakang pendidikan mereka menjadi mahir dalam suatu bahasa asing, namun menjadi tak pandai dalam bahasa ibu mereka sendiri,” tulis Akira Nagazumi (Tempo, 4 Juni 1988).

 

Iskandar juga mencatat Labberton diangkat sebagai presiden dari Nederlandsch Indische Theosofische Vereniging (NITV) pada 15 April 1912. Setelah itu teosofi berkembang di Indonesia, termasuk di Buitenzorg. Keberhasilan teosofi itu dikaitkan dengan upaya propaganda lewat media kesenian seperti wayang, dan acara pertunjukan. Labberton, misalnya, menjadikan wayang sebagai sarana untuk menyebarkan pandangan-pandangan teosofis. Menurut Iskandar, Labberton merupakan tokoh kunci gerakan teosofi di Hindia Belanda.

 

Hukumonline.com

Foto: MYS/Dok.Perpustakaan UI

 

Tercatat pula, Labberton pernah bekerja sebagai sekretaris sebuah departemen di Buitenzorg (1899-1904). Di waktu senggang ia banyak belajar bahasa dan etnologi lokal (taal en volkenkunde), sehingga tak heran ia kemudian menjadi pengajar bahasa Jawa dan Melayu di Jakarta. Ia juga menguasai bahasa Sanskerta, dan menggemari wayang. Wajang dan Gamelan adalah salah satu tulisannya yang dimuat di Pemitran edisi 2 April 1916. Ia bahkan pernah diangkat menjadi anggota Comissie voor de Volkslectuur, sebuah komisi penasehat di Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah.

 

Sejarah juga mencatat Labberton pernah menjadi pengajar bahasa Melayu, Jawa dan Sanskrit di Jepang (1923-1925) setelah ‘terdepak’ dari perpolitikan di Hindia Belanda. Keberangkatan Labberton ke Jepang sejalan juga dengan politik Dai Nippon yang menarik dosen-dosen Eropa untuk mengajar di sana. Pada sekitar tahun 1927-an, para guru besar asal Eropa sudah meninggalkan Jepang. Labberton tetap bertahan, seperti ditulis Abdul Rivai dalam bukunya ‘Student Indonesia di Eropa (2000): “Bangsa Jepang belum ada profesor buat mengajar di sekolah tinggi. Digajinya bangsa Eropa akan jadi profesor. Sekarang tidak ada lagi profesor Eropa seorang juga di Jepang kecuali Prof. Labberton dalam bahasa Melayu’. Ini menunjukkan pula kepiawaian Labberton dalam bahasa-bahasa lokal di Hindia Belanda.

 

Pengetahuannya tentang bahasa lokal, terutama Jawa, itulah yang diyakini Indra ikut memperkaya kamus hukum adat karya Labberton. Namun Indra menduga kamus itu ditulis Labberton di luar dari Hindia Belanda karena sepengetahuannya Labberton tak pernah kembali ke Hindia Belanda setelah ‘terdepak’. “Setahu saya tidak pernah kembali. Bahkan ia meninggal di Amerika Serikat,” jelas Indra.

 

Iskandar tak menceritakan penulisan kamus oleh Labberton. Buku Labberton yang dia jadikan sebagai rujukan De Opkomst van het Mataramschen Brill Bekeken (Bandung, 1906) dan Theosofie in Verband Met Boedi Oetomo (Batavia, 1969).

 

Indra juga tidak mengetahui mengapa Labberton menulis kamus hukum adat itu dalam bahasa Perancis. Setiap kata bahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, dan kadang disinggung bahasa Jawa dan Belanda. Penulisan kamus hukum Indonesia dalam bahasa Perancis menjadi unik karena umumnya kamus hukum di Indonesia dihubungkan dengan bahasa Belanda. Dalam dunia hukum Indonesia, ada beberapa istilah yang lazim dikenal seperti espirit d’corps (dipakai untuk menyebut semangat membela korps), dan detournement de pouvoir.

 

(Baca juga: Inilah Generasi Pertama Orang Indonesia Lulusan Sekolah Hukum)

 

van Vollenhoven

Dalam kata pengantar kamus ini, Labberton memuji Cornelis van Vollenhoven, seorang Belanda yang di Indonesia dikenal sebagai Bapak Hukum Adat. Labberton menulis dalam bahasa Perancis bahwa rencana pembuatan kamus ini tak lepas dari nama van Vollenhoven, dosen Universitas Leiden yang mengembangkan kajian tentang hukum adat: “La plan de ce dictionnaire a ete concu par feu Monsieur C van Vollenhoven, professeur de droit a l’Universite de Leyde, et le grand animateur des ‘etudes de droit coutumier Indonesien”.

 

Sebutan ‘Bapak Hukum Adat’ terhadap van Vollenhoven tidak lepas dari peran pria kelahiran Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874 itu. Jejaknya dimulai ketika masuk Universitas Leiden pada usia 17 tahun, dilanjutkan pada magister bidang hukum pada 1895. Setahun kemudian lulus gelar sarjana Semitik, disusul magister ilmu politik pada 1897. Pada usia 27 tahun, van Vollenhoven dikenal sebagai ahli Hukum Konstitusi dan Administrasi Seberang Lautan Belanda serta Hukum Adat Hindia belanda. Pada bidang yang terakhir ini van Vollenhoven diangkat sebagai professor pada 1901. Salah satu hasil karya monumentalnya adalah berjilid-jilid buku ‘Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie. Dari karya inilah diperkenalkan 19 lingkungan adat di wilayah Hindia Belanda.

 

Mengingat karya Labberton ini lebih sebagai kamus hukum adat, maka banyak lema yang sebenarnya istilah umum, dimasukkan sebagai kata bermakna hukum. Misalnya, lema ‘abang’ (frere aine ou soeur ainee, terme poli pour accoster un indigene de Batavia parlant le malaise); atau istilah ‘koeria’ yang bisa bermakna saksi, janjian, distrik Batak, le tribunal de conseil de village, en Angkola et Sipirok. Contoh lain, kata ‘kebiasaan’ diartikan sebagai le coutumes et institutions immemoriales, dan de aloude gewoonten en instellingen

 

(Baca juga: 101 Tantangan Peradilan di Mata President Hoge Raad Belanda)

 

Selain kamus hukum tersebut, Labberton juga mewariskan sejumlah karya lain seperti Het Javaansch van Malang-Pasuruan (1900), Geillustreerd handbook van insulinde (1910), dan Volledige Sanskrta Spraakkunst (1922).

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Soerjono Soekanto ‘meneruskan’ dokumentasi istilah-istilah yang berkaitan dengan adat itu melalui bukunya ‘Kamus Hukum Adat’ (1978). Dari 77 referensi yang dipergunakan, salah satunya adalah kamus hukum Labberton. Termasuk pula referensi langka hukum adat, Adatrechtbundel jilid XXVII (Sumatera, 1928) hingga jilid XXXVI (Borneo, Zuid-Selebes, Ambon, 1933).

 

Kamus ini memuat 4.163 entri. Soerjono mengakui kamus hukum adat yang dia susun semata-mata didasarkan pada kajian kepustakaan, dengan risiko kemungkinan ejaan yang keliru atau kata yang sudah tidak dipergunakan lagi.

 

Labberton, van Vollenhoven, dan Soerjono Soekanto telah tiada. Tetapi mereka telah mewariskan kekayaan kumpulan istilah di bidang hukum adat kepada generasi setelah mereka.

Tags:

Berita Terkait