Humphrey Djemat:
Mencetak Advokat Pejuang Melalui TKI
Profil

Humphrey Djemat:
Mencetak Advokat Pejuang Melalui TKI

Presiden pun mengakui pentinganya advokat dalam perlindungan TKI.

RZK/M-15
Bacaan 2 Menit

Berangkat dari keprihatinan itulah, Humphrey begitu terpilih menjadi Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) langsung menetapkan moto “Membangun Advokat Pejuang”. Untuk mewujudkan moto itu, AAI mencanangkan program bantuan hukum bagi kelompok yang rentan/lemah. Dan, AAI memilih tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagai pihak yang dianggap layak diberi bantuan hukum.

Gayung bersambut, AAI diajak kerjasama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Sebelum itu, Humphrey dengan membawa bendera AAI sudah lebih dulu terlibat dalam Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri (Satgas TKI). Merujuk pada Keputusan Presiden No 8 Tahun 2012, posisi Humphrey sebagai anggota tetapi kemudian dipercaya juga menjadi Juru Bicara.

Saat ini, Satgas TKI memang sudah rampung tugasnya. Kerjasama AAI dengan BNP2TKI juga sudah berakhir. Namun, kiprah para advokat AAI saat berkecimpung di dunia TKI masih menarik untuk disimak. Misalnya, kenapa AAI memilih TKI ketimbang kelompok lain untuk dibantu? Lalu bagaimana pahit manis yang dihadapi para advokat AAI ketika memberikan bantuan hukum kepada TKI?

Untuk itu, hukumonline berkesempatan mewancarai Humphrey Djemat di salah satu ruangan di Gedung Gani Djemat di Jakarta, tempat kantor hukumnya dan Sekretariat DPP AAI berdomisili. Berikut petikan wawancaranya?    

Kenapa TKI yang dipilih AAI?
AAI melihat salah satu masalah besar di negeri ini adalah pembelaan terhadap kelompok kecil yang lemah dalam melakukan perlindungan dan pembelaan dirinya. Salah satu kelompok itu adalah TKI. Kan sudah diakui, berapa juta TKI yang berangkat ke negeri orang tetapi masalah TKI ini tidak pernah ada penyelesaian dan perlindungan yang kuat. Untuk itulah, moto kepengurusan saya adalah “Membangun Advokat Pejuang”. Komitmen ini tidak boleh main-main, harus ada perbuatan yang konkret.

Pada dasarnya, TKI itu lemah karena pemberdayaan dirinya tidak ada. TKI yang formal saja, pendidikannya SD saja tidak tamat, bahkan banyak yang buta huruf. Cara berpikir mereka sangat sederhana yakni bagaimana mereka bekerja untuk mendapatkan uang. Diberi undang-undang atau badan-badan bukan berarti (perlindungan, red) mereka akan terangkat. Apalagi, jika oknum-oknum pemerintahan ini komitmennya tidak kuat.

Dari regulasinya saja, UU No 39 Tahun 2004, sudah ditentukan bahwa perlindungan hukum bagi TKI itu hanya di negara penempatan. Padahal, masalah TKI itu banyak di dalam negeri, mulai dari proses penempatannya maupun purna. Dari sini saja sudah kelihatan bahwa komitmen dari pemerintah atau negeri ini belum total. Ini dilihat dari regulasinya aja belum praktiknya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait