Hukum yang Predictable
Kolom

Hukum yang Predictable

Penalaran hukum yang baik dan prediktabel tersebut terutama harus muncul dalam setiap bentuk peraturan, keputusan/tindakan pemerintahan, dan putusan peradilan sebagai benteng penjaga integrated justice system.

Bacaan 7 Menit

Untuk mewujudkan penalaran hukum yang baik, para pengemban hukum setidaknya harus: (1) menguasai teknik/prosedur penalaran hukum, antara lain rechtsvinding melalui interpretasi atau konstruksi hukum. (2) menguasai dan terbuka terhadap ilmu-ilmu non hukum, seperti ilmu formal (berupa logika, matematika, teori sistem); ilmu empiris (berupa ilmu alam, dan ilmu manusia seperti bahasa, sejarah, sosiologi, politik); dan ilmu praktis (berupa ilmu kedokteran, teknologi, manajemen, dll). (3) tidak berparadigma positivisme hukum yang hanya berpegang pada dalil peraturan tertulis semata dan menafikan nilai moral, akal budi, asas dan falsafah bangsa. (4) berorientasi sistematisasi, di mana permasalahan hukum pertama diselesaikan berdasar peraturan tertulis, selanjutnya menggunakan ilmu hukum, teori sistem hukum, dan terakhir filsafat hukum. (5) berpegang pada standar etis dan integritas pada saat melakukan penalaran hukum.

Dewasa ini, perwujudan penalaran hukum yang baik tersebut semakin dipermudah dengan kemajuan teknologi informasi, yang sering disebut sebagai IT for Justice. Di ranah pemerintahan, telah ada e-Government, yang diawali dengan Inpres Nomor 2/2001, Perpres 95/2018, hingga UU Cipta Kerja. Wujud e-Government tersebut antara lain Perizinan Secara Online (oss.go.id), aplikasi AHU Kemenkumham, ataupun SIOLA pada Kemendagri. E-Government dapat menghadirkan prosedural penerapan administrasi pemerintahan menjadi lebih terbuka, pasti dan prediktabel.

Demikian juga Mahkamah Agung yang bukan saja telah melaksanakan prosedur Peradilan Secara Elektronik (e-Court), bahkan juga telah mempublikasikan putusan MA dan Peradilan di bawahnya melalui Direktori Putusan, sehingga akan terekam dan terbaca bagaimana penalaran hukum yang diambil oleh para hakim. Semua produk hukum melalui sistem elektronik tersebut adalah data, yang dapat diolah dan dikembangkan untuk menemukan model dan bentuk penalaran hukum yang lebih baik. Pengembangan tersebut lazimnya menggunakan artificial intellegent (AI). Penggunaan AI untuk penalaran hukum mulai digunakan di dunia, karena AI mampu membaca, mengolah dan menyajikan bahan/material hukum (UU, Keputusan dan Putusan Peradilan, Doktrin) yang sedemikian banyak untuk diterapkan pada fakta materiil secara jujur dan apa-adanya.

Penalaran hukum oleh pengemban hukum dengan memanfaatkan IT ini merupakan cobot (collaborative robot), yang akan menghadirkan penalaran hukum yang lebih prediktabel. Dengan AI, seorang pengemban hukum (juga masyarakat) dapat memasukkan suatu posisi kasus dalam aplikasi, dan AI akan menyajikan penalaran hukum paling logis berdasarkan peraturan perundangan, putusan peradilan terdahulu, hingga berbagai doktrin. Untuk menghindari penyalahgunaan, European Commission For The Efficiency Of Justice (CEPEJ) pada Pleno tahun 2018 misalnya, telah menetapkan Kode Etik Penggunaan AI di Lingkungan Peradilan, mulai dari prinsip penghormatan HAM, prinsip imparsial dan adil, hingga prinsip AI harus tetap under user control.

Penutup

Indonesia hingga saat ini masih menjadi kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN. Meski demikian, berdasarkan hasil survey Bloomberg terhadap investor di tahun 2019, ternyata investor lebih berminat menanamkan modal dan teknologinya di beberapa negara tetangga, yang peringkat EODB (ease of doing business)-nya lebih tinggi dari Indonesia. Beberapa indikator EODB tersebut terkait dengan kepastian hukum. Syukurlah, Indonesia telah membenahi prosedural/hukum acara agar lebih menghadirkan konsistensi dan prediktabilitas di sektor hukum ini, antara lain melalui penerapan teknologi informasi pada pelaksanaan prosedural pemerintahan (e-Government) maupun melalui Peradilan Elektronik (e-Court).

Upaya-upaya prosedural tersebut perlu didukung oleh para pengemban hukum (baik pengemban hukum teoritikal maupun praktikal) untuk mewujudkan substansi hukum yang konsisten dan prediktabel melalui penalaran hukum yang baik. Penalaran hukum yang baik dan prediktabel tersebut terutama harus muncul dalam setiap bentuk Peraturan (legislation), Keputusan/Tindakan Pemerintahan (bestuurs handelingen), dan Putusan Peradilan (vonnis) sebagai benteng penjaga integrated justice system. Tanpa adanya hukum yang konsisten dan prediktabel, maka hukum tidak akan dipercaya. Akibatnya pembangunan ekonomi, sosial dan politik akan stagnan. Bahkan, meminjam PW Singer dalam Ghost Fleet, negara dapat jatuh dalam anarki.

*)Sudarsono adalah Anggota PP Ikahi, mahasiswa S3 Unair dan matrik STFD, penulis buku Legal Issues Pada Peradilan TUN Pasca Reformasi: Hukum Acara & Peradilan Elektronik. Rabbenstain Izroiel adalah Praktisi Bahasa, sedang menyelesaikan kuliah Hukum dan Teknik Kimia di Surabaya, penulis buku Petunjuk Praktis Beracara Di Peradilan TUN: Konvensional dan Elektronik. Artikel ini adalah tulisan pribadi para penulis, tidak mewakili institusi manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait