Hukum yang Predictable
Kolom

Hukum yang Predictable

Penalaran hukum yang baik dan prediktabel tersebut terutama harus muncul dalam setiap bentuk peraturan, keputusan/tindakan pemerintahan, dan putusan peradilan sebagai benteng penjaga integrated justice system.

Bacaan 7 Menit

Hukum tertulis inilah yang disebut sebagai hukum artifisial (buatan). Misalnya, ketentuan Pasal Pasal 108 ayat (1) UU Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang mengharuskan setiap orang berkendaraan di jalur kiri, tentu tidak dikenal oleh manusia Indonesia dua abad silam. Orang Amerika yang berkendara di negaranya pada jalur kanan juga tidak tunduk pada Pasal 108 UU LLAJ tersebut. Dengan demikian, hukum artifisal merupakan peraturan tertulis buatan yang terikat ruang dan waktu tertentu, yang dibuat dan ditegakkan oleh kekuasaan di wilayah tertentu. Pada titik ini, keberlakuan hukum artifisial mensyaratkan adanya “fiksi hukum” bahwa semua orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure).

Sebagai fiksi hukum, tegaknya hukum artifisial sangat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat. Jika masyarakat tidak percaya pada suatu pasal UU misalnya, dan penguasa tidak menegakkannya, maka pasal tersebut hanya menjadi bacaan/bunyi semata. Berbeda dengan hukum alami yang dirasakan dan ada pada setiap manusia, hukum artifisal harus ditegakkan oleh penguasa. Untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, hukum artifisial tersebut harus dibuat, disosialisasikan dan ditegakkan secara adil dan objektif. Adanya rasa adil dan objektifitas dalam hukum artifisial itulah yang membuat masyarakat patuh dan percaya hukum.

Objektivitas hukum artifisal tersebut terutama diperoleh melalui legitimasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan memiliki ciri empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif yang membuatnya layak dipercayai oleh manusia modern. Bagi Foucault, tidak ada relasi kekuasaan (termasuk hukum artifisial, sic) tanpa melalui hubungan korelatif dengan ilmu pengetahuan. Sejak kecil semua orang telah memperoleh pendisiplinan melalui lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat untuk menerima objektivitas hukum yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan hukum merupakan dasar pengembanan hukum. Para pengemban hukum (rechtsbeofenaar; baik teoritis seperti akademisi hukum, maupun  praktis seperti hakim, jaksa, advokat, biro hukum pemerintah, dll.) adalah orang yang telah mendapatkan pendidikan hukum, lazimnya adalah S1 Ilmu Hukum. Dengan pendidikan hukum, para pengemban hukum diharapkan menguasai ilmu pengetahuan hukum agar mampu melakukan penalaran hukum untuk menegakkan hukum artifisal yang semakin kompleks akibat semakin banyaknya peraturan tertulis.

Penalaran Hukum: Tantangan dan Peluang

Meningkatnya persaingan global di bidang ekonomi, keamanan, politik dan teknologi telah mengharuskan negara harus meningkatkan efektivitas perannya guna melindungi warganya (Fukuyama, 2005: 156). Peningkatan peran negara tersebut, terutama di negara sedang berkembang yang berusaha mengejar ketertinggalan, dilakukan secara top down dengan birokratisasi melalui penerbitan berbagai produk peraturan (Taliziduhu Ndraha, 1989: 117). Hal ini mengakibatkan kuantitas dan kualitas produk peraturan semakin banyak, kompleks, dan terjebak dalam hiper regulasi.

Jimly Asshiddiqie, dengan meminjam istilah Richard Suskind, menyatakan Indonesia cenderung menjadi “hyper-regulated society” (2020: 89). Banyaknya peraturan tersebut tak jarang mengakibatkan disharmonisasi antar peraturan. Sebagai contoh sederhana, pengundangan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah ketentuan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan berkaitan dengan Keputusan Fiktif Positif, yang hingga saat ini belum diterbitkan Peraturan Presidennya, sehingga mengakibatkan permasalahan terkait kepastian hak seseorang atau suatu badan hukum untuk mendapatkan Keputusan Pemerintahan yang dimohonkannya. Untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini, maupun mengharmonisasi dan mensistematisasi material hukum yang disharmoni agar sesuai dengan tata hukum, adalah tugas para pengemban hukum melalui penalaran hukum.

Penalaran hukum adalah ars (keterampilan ilmiah) dalam rangka legal problem solving (PM Hadjon dan Tatiek S. Djatmiati, 2011: v). Penalaran hukum merupakan kegiatan berpikir problematis tersistematisasi dari subjek hukum, yang multiaspek, untuk mengejar tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, sehingga terwujud jaminan stabilitas dan prediktabilitas (Shidarta, 2013: 430-432).

Tags:

Berita Terkait