Forum Konsultasi Advokat, dari Diskusi hingga Rekomendasi tentang Keadilan Restoratif
Terbaru

Forum Konsultasi Advokat, dari Diskusi hingga Rekomendasi tentang Keadilan Restoratif

Forum konsultasi bertujuan untuk memfasilitasi pertemuan para advokat pidana dalam rangka mendiskusikan penerapan keadilan restoratif pada penanganan tindak pidana di Indonesia.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit

 

Pada kelompok pertama, rekomendasi mencakup anjuran adanya pembatasan dan kategorisasi tindak pidana yang dapat diterapkan restorative justice. Kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, juga diharapkan memiliki ukuran pasti (secara materiil). Jika ada kebingungan untuk menentukan tindak pidana, dapat mengambil contoh dari syarat penerapan justice collaborator.

 

“Jangan sampai restorative justice jadi cara berlindung dari sanksi pidana, juga cara untuk mencari uang dan memeras. Selain itu, rekomendasi kami, adalah membuat kodifikasi metode Omnibus Law mengenai restorative justice. Jadi tidak hanya dalam tingkat PP,” kata perwakilan Kelompok I.

 

Pada kelompok kedua, rekomendasi meliputi peran advokat dalam pemberdayaan korban. Mekanisme restorative justice yang selama ini berlaku, belum sepenuhnya memahami makna keadilan. Oleh karena itu, salah satu skema yang dapat dilakukan adalah penunjukkan fasilitator oleh kedua pihak. Skema ini mirip dengan hukum perdata atau model alternatif penyelesaian sengketa, di mana fasilitator yang ditunjuk adalah orang-perorangan yang memiliki kompetensi dan memahami rasa keadilan, baik bagi korban maupun pelaku.

 

“Kategori restorative justice penting, tetapi jangan dilihat kasus per kasus. Kita mesti menggali pelaku, korban, dan melakukan identifikasi. Itu sebabnya kami merekomendasikan pendidikan atau konseling bagi kedua belah pihak. Keadilan restoratif tidak hanya berhenti pada kasus yang korbannya jelas, tetapi juga harus melihat tujuan akhirnya,” jelas perwakilan Kelompok II.

 

Terdapat empat rekomendasi yang diberikan oleh kelompok terakhir. Pertama, soal perumusan kesepakatan para pihak. Bagaimanapun, kesepakatan harus memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan pelaku. Kedua, peran advokat dalam mengawal dan memastikan kesepakatan yang sudah tercapai dapat terimplementasikan dengan efektif dan tuntas. Jika perlu, ada instrumen untuk memperkuat kesepakatan tersebut, misalnya, akta notaris. Ketiga, indikasi keberhasilan restorative justice, yaitu keadilan yang hakiki untuk masing-masing korban—tidak hanya berupa kepastian hukum, tetapi juga rasa adil, puas, dan terselesaikan. Keempat, soal hal-hal yang harus dilakukan jika keadilan restoratif ternyata gagal.

 

“Sebagai contoh, si pelaku mengulang tindak pidana. Kami merekomendasikan adanya instrumen pencatatan dalam sistem restorative justice untuk memformalkan. Jadi, keadilan restoratif bukanlah sesuatu yang sifatnya informal (di bawah tangan). Ketika ada pengulangan kejahatan, maka pintu keadilan restoratif akan ditutup, karena dianggap tujuannya sudah tidak tercapai,” perwakilan Kelompok III menambahkan.

 

Sebagai penutup, baik narasumber maupun peserta sepakat, untuk memastikan keadilan restoratif dapat berjalan tepat, harus ada perspektif yang sama antara advokat, kejaksaan, kepolisian, dan Mahkamah Agung. Itu sebabnya, diperlukan payung hukum yang menjadi landasan untuk mengatur hal-hal mendasar, seperti definisi, pelaksanaan, ganti rugi, batasan, maupun mekanisme lainnya. Mengingat advokat punya peran krusial untuk memastikan keadilan restoratif benar-benar berjalan ideal dan melindungi hak asasi manusia, penting pula melibatkan advokat dalam penyusunan kebijakan terkait keadilan restoratif yang sedang disusun pemerintah.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan The Asia Foundation.

Tags:

Berita Terkait