DPR Berjanji Perjuangkan Status Hukum Perkawinan Konghucu
Berita

DPR Berjanji Perjuangkan Status Hukum Perkawinan Konghucu

Anggota Komisi VIII DPR-RI menyayangkan masih terjadinya diskriminasi terhadap para pemeluk agama Konghucu, terutama soal status perkawinannya.

Zae
Bacaan 2 Menit
DPR Berjanji Perjuangkan Status Hukum Perkawinan Konghucu
Hukumonline

 

Misalnya soal pencatatan perkawinan, hampir semua kantor catatan sipil di Indonesia menolak untuk mencatatkan perkawinan penganut agama Konghucu. Alasannya, karena menurut mereka Konghucu belum merupakan agama yang diakui pemerintah dan belum tercatat dalam sistem komputer mereka.

 

Bentuk lain diskriminasi juga dialami saat pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Para petugas pembuat KPT menolak untuk mencantumkan Konghucu dalam kolom KTP, dan meminta pemohon KTP untuk memilih salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.

 

Terakhir soal pelajaran di sekolah. Menurut Budi, beberapa tahun yang lalu masih ada kurikulum sekolah yang memungkinkan diajarkannya pelajaran agama Konghucu bagi penganutnya. Namun sekarang ini kurikulum itu tidak ada lagi. Hal ini juga diminta Budi untuk diperjuangkan oleh Komisi VIII.

 

Diskriminasi terhadap pencatatan akta nikah akibatnya fatal. Status anak yang lahir dari perkawinan tersebut dianggap anak di luar nikah. "Ketiga anak saya dalam aktenya ditulis sebagai anak di luar nikah," ujar salah seorang penganut Konghucu kepada hukumonline.

 

Selanjutnya, karena di sekolah tidak ada lagi kurikulum untuk mengajarkan agama Konghucu, ketiga orang anak tersebut 'terpaksa' untuk mengambil mata pelajaran agama Budha. "Padahal isi ajarannya sama sekali lain," ujar ibu muda itu.

 

Dilindungi hukum

Dalam kesempatan itu, beberapa anggota Komisi VIII menyampaikan simpatinya kepada para penganut Konghucu. Namun kemungkinan besar, kata mereka, semua itu akibat kurang pahamnya masyarakat Indonesia terhadap ajaran Konghucu.

 

Hal ini terjadi mungkin karena adanya kesamaan simbol-simbol keagamaan Konghucu dengan simbol agama lain. Perayaan Imlek yang dikaitkan dengan upacara keagamaan Konghucu juga dirayakan oleh masyarakat lain secara umum yang tidak beragama konghucu.

 

"Namun yang jelas, tidak terpenuhinya hak-hak sipil penganut agama Konghucu ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Karena masalah beragama dan menjalankan ibadah dijamin oleh hukum," tegas Sekretaris Presidium Matakin, Chandra Setiawan, menanggapi pendapat tersebut.

 

Chandra kemudian mengutip Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya itu. Serta, berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan dan lain-lain. Aturan senada juga tertuang dalam Pasal 29.

 

Jaminan tersebut selanjutnya dijabarkan lagi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 22 undang-undang ini, ujar Chandra, juga menyatakan bahwa hak seseorang untuk memeluk agama tidak dapat diganggu gugat dalam kondisi apapun.

 

Belum lagi sudah ada pengakuan dari beberapa presiden Indonesia tentang agama Konghucu. Terakhir, menurut Chandra, adalah pernyataan yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Imlek Tahun 2005 yang menyatakan agar umat Konghucu jangan ragu untuk menjalankan ajaran agamanya. 

Itulah salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi VIII dengan Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) di gedung DPR Senayan Jakarta (9/3). Butir kesimpulan itu dibacakan anggota Dewan Aisyah Hamid Baidlowi.

 

Aisyah mengatakan, Komisi VIII merasa prihatin atas berbagai tindakan diskriminasi yang masih berjalan di Indonesia, khususnya terhadap umat Konghucu. "Oleh karena itu Komisi VIII mendorong agar hal ini dapat di selesaikan baik dalam perspektif hukum maupun dalam tatanan sosial secara lebih luas," tegas Aisyah.

 

Sebelumnya, Ketua Umum Matakin Budi Santoso Tanuwijoyo memaparkan kepada anggota Komisi VII mengenai sejumlah perlakuan diskriminatif yang sampai sekarang masih diterima oleh penganut Konghucu.

Tags: