Desain Hukum Digital Terpadu di Indonesia
Kolom

Desain Hukum Digital Terpadu di Indonesia

Sistem kodifikasi sebenarnya dapat menjadi jawaban untuk mengisi ruang kosong dari teknik omnibus dalam pengintegrasian hukum digital.

Bacaan 5 Menit

Proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang kodifikasi seringkali berjalan tidak efektif dan efisien. Hal tersebut terjadi karena pembentuk undang-undang terlalu mengidealkan kesempurnaan norma hukum yang akhirnya membutuhkan waktu lama dalam proses penyusunan dan pembahasan di DPR. Buktinya dapat dilihat dari pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah disusun dan dibahas lebih dari setengah abad, namun tak kunjung disahkan.

Kelemahan-kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan memadukan metode kodifikasi dan perubahan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus legislative technique. Dalam proses penyusunannya, kodifikasi hukum digital menggunakan omnibus legislative technique, karena masih terdapat regulasi hukum terkait elektronik dan ruang digital yang tersebar di banyak undang-undang yang berbeda.

Selain itu, undang-undang elektronik dan lingkup ruang digital seperti RUU PDP yang masih dalam proses pembahasan akan dapat dibahas bersamaan dengan undang-undang lain yang telah ada saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan karena yang digunakan tidak hanya proses perubahan undang-undang digital dengan metode omnibus, namun juga membahas norma baru dalam kerangka kodifikasi hukum digital.

Fleksibilitas dalam mengubah norma juga menjadi hal yang penting agar hukum mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi yang bergerak dengan cepat. Kemampuan untuk menyesuaikan norma hukum dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat menjadi salah satu kelebihan dari teknik omnibus. Dengan demikian, persoalan terkait proses pembahasan undang-undang kodifikasi yang berlarut-larut di DPR (seperti RKUHP) dapat dicegah.

Proses legislasi pembentukan kodifikasi hukum digital dengan metode omnibus legislative technique hanya fokus pada proses pengelompokan norma yang tersebar di pelbagai undang-undang agar harmoni dan tidak saling bertentangan. Pembahasan yang lebih kompleks dapat dilakukan ketika ketika terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dan undang-undang digital lain yang belum disahkan seperti RUU PDP.

Selain proses perumusan norma hukum yang lebih ringkas, penyusunan kodifikasi hukum dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Digital menggunakan metode omnibus juga memberikan keuntungan pada tataran implementasi dan pemberian edukasi. Penegak hukum akan langsung membuka dan merujuk pada kitab hukum a quo ketika menangani sebuah perkara terkait dengan hukum digital, tanpa harus menghabiskan waktu untuk menemukan norma terkait perkara tersebut.

Meningkatkan pemahaman masyarakat melalui program literasi digital juga dapat dijalankan dengan lebih baik karena semua undang-undang terkait dengan persoalan digital telah berada dalam satu buku. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama dengan kelompok masyarakat sipil hanya butuh untuk menyederhanakan bahasa hukum dalam undang-undang tersebut agar lebih mudah untuk dipahami.

Hal ini juga penting untuk mencegah tafsir bebas yang dilakukan oleh masyarakat dan penegak hukum ketika berhubungan dengan regulasi hukum digital agar tidak terjadi saling lapor antar warga negara dan mengakibatkan tingginya angka pemidanaan terkait delik pada beberapa undang-undang, seperti UU ITE.

*)Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait