Desain Hukum Digital Terpadu di Indonesia
Kolom

Desain Hukum Digital Terpadu di Indonesia

Sistem kodifikasi sebenarnya dapat menjadi jawaban untuk mengisi ruang kosong dari teknik omnibus dalam pengintegrasian hukum digital.

Bacaan 5 Menit
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa
Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Istimewa

Perkembangan teknologi informasi yang berjalan dengan pesat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan pelbagai aktivitas di ruang digital. Namun, laju perkembangan teknologi ini tidak mampu diiringi oleh regulasi hukum yang melindungi aktivitas masyarakat tersebut. Selain terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) terhadap beberapa aspek seperti perlindungan data pribadi masyarakat, pengaturan hukum digital lainnya juga tersebar di pelbagai undang-undang yang berbeda.

Contohnya adalah ketentuan terkait dengan e-commerce yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), namun juga terdapat pengaturan yang lebih umum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara transaksi jual-beli konvensional dengan transaksi elektronik. Hal tersebut juga berhubungan dengan transaksi elektronik yang dilakukan di e-commerce yang tidak hanya terkait dengan hubungan ekonomi semata, namun juga berkaitan dengan perlindungan konsumen dan data pribadi di ruang digital.

Selain terpisah, juga terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang tak kunjung selesai dibahas dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah. Pentingnya keberadaan RUU PDP tidak hanya terkait dengan e-commerce maupun transaksi elektronik, namun juga terhadap identitas warga negara yang rentan untuk dicuri dan dikomodifikasi oleh pihak tertentu. Beberapa kasus kebocoran data pribadi yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya adalah kebocoran data pengguna aplikasi Tokopedia pada tahun 2020 dan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2021.

Seiring dengan upaya menghadirkan hukum digital yang komprehensif dan terintegrasi, pemberian literasi digital kepada masyarakat juga tidak dapat dilakukan secara maksimal. Sulitnya memberikan pemahaman hukum digital secara komprehensif kepada masyarakat merupakan salah satu kerugian yang ditimbulkan ketika undang-undang terkait dengan teknologi informasi tidak berada dalam satu kotak yang sama.

Program literasi digital dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien ketika sebuah aturan hukum yang spesifik mengatur pelbagai aktivitas di ruang digital berada di satu tempat yang sama. Masyarakat hanya butuh membuka sebuah undang-undang yang mengatur ketentuan tentang hukum digital ketika terbentur oleh suatu persoalan dalam melakukan transaksi elektronik atau aktivitas lain di ruang digital.

Peta Jalan Hukum Digital Terpadu

Pada pertengahan bulan Juli 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, melempar sebuah wacana terkait pembentukan Omnibus Law Bidang Digital. Aturan sapu jagat tersebut dirancang untuk mengatur pelbagai hal di dunia digital, seperti perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, hingga transaksi elektronik dalam bentuk uang (e-money). Menurut hemat Penulis, terdapat kekeliruan ketika menjadikan teknik omnibus sebagai opsi tunggal untuk melakukan harmonisasi maupun mengatasi persoalan regulasi hukum digital di Indonesia.

Secara konseptual, teknik pembentukan undang-undang dengan metode omnibus digunakan untuk mengubah beberapa atau bahkan banyak undang-undang yang memuat memuat pelbagai materi kebijakan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Asshiddique, 2021). Artinya, teknik ini secara khusus hanya merupakan metode perubahan undang-undang, dan tidak berlaku pada peraturan perundang-undangan yang belum disahkan, dalam konteks hukum digital seperti RUU PDP. Oleh sebab itu, sistem kodifikasi sebenarnya dapat menjadi jawaban untuk mengisi ruang kosong dari teknik omnibus dalam pengintegrasian hukum digital.

Pada perkembangannya, pengundangan hukum melalui sistem kodifikasi juga mendapatkan pertentangan. A. Hamid S. Attamimi, Bapak Ilmu Perundang-undangan Indonesia, menyatakan bahwa untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat, sudah bukan saatnya mengarahkan pembentukan hukum melalui penyusunan kodifikasi.

Hal ini dikarenakan, penyusunan kodifikasi hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin selalu ketinggalan zaman (Indrati, 2007). Namun, kelemahan dari sistem kodifikasi hukum sebenarnya dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknik omnibus, karena perubahan undang-undang dapat dilakukan terhadap beberapa norma terkait sekaligus dan secara langsung dapat diintegrasikan.

Teknik omnibus dan kodifikasi hukum merupakan konsep dalam melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan secara tertulis (written law) yang bertujuan untuk mengharmonisasikan pelbagai norma hukum positif. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada lagi norma hukum yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Walaupun kedua konsep tersebut memiliki tujuan yang sama, namun terdapat perbedaan mendasar dalam proses penyusunannya.

Kodifikasi hukum merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk membuat satu naskah terpadu yang mengatur materi-materi tertentu dan spesifik. Contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrecht), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Konsep yang digunakan pada pembahasan kali ini akan difokuskan pada kodifikasi yang dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang pada umumnya. Melalui proses ini, maka dapat dibentuk sebuah kodifikasi hukum dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Digital.

Kodifikasi hukum digital mungkin terdengar sebagai hal yang menjanjikan untuk melakukan revolusi penataan peraturan perundang-undangan terkait teknologi informasi dan perlindungan aktivitas di ruang digital. Namun, ketika kita melihat undang-undang kodifikasi yang ada di Indonesia, terdapat persoalan yang akan menjadi halangan dalam melakukan pembaharuan hukum digital di Indonesia. Salah satunya adalah waktu pembahasan yang memakan waktu lama.

Proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang kodifikasi seringkali berjalan tidak efektif dan efisien. Hal tersebut terjadi karena pembentuk undang-undang terlalu mengidealkan kesempurnaan norma hukum yang akhirnya membutuhkan waktu lama dalam proses penyusunan dan pembahasan di DPR. Buktinya dapat dilihat dari pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah disusun dan dibahas lebih dari setengah abad, namun tak kunjung disahkan.

Kelemahan-kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan memadukan metode kodifikasi dan perubahan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus legislative technique. Dalam proses penyusunannya, kodifikasi hukum digital menggunakan omnibus legislative technique, karena masih terdapat regulasi hukum terkait elektronik dan ruang digital yang tersebar di banyak undang-undang yang berbeda.

Selain itu, undang-undang elektronik dan lingkup ruang digital seperti RUU PDP yang masih dalam proses pembahasan akan dapat dibahas bersamaan dengan undang-undang lain yang telah ada saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan karena yang digunakan tidak hanya proses perubahan undang-undang digital dengan metode omnibus, namun juga membahas norma baru dalam kerangka kodifikasi hukum digital.

Fleksibilitas dalam mengubah norma juga menjadi hal yang penting agar hukum mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi yang bergerak dengan cepat. Kemampuan untuk menyesuaikan norma hukum dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat menjadi salah satu kelebihan dari teknik omnibus. Dengan demikian, persoalan terkait proses pembahasan undang-undang kodifikasi yang berlarut-larut di DPR (seperti RKUHP) dapat dicegah.

Proses legislasi pembentukan kodifikasi hukum digital dengan metode omnibus legislative technique hanya fokus pada proses pengelompokan norma yang tersebar di pelbagai undang-undang agar harmoni dan tidak saling bertentangan. Pembahasan yang lebih kompleks dapat dilakukan ketika ketika terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dan undang-undang digital lain yang belum disahkan seperti RUU PDP.

Selain proses perumusan norma hukum yang lebih ringkas, penyusunan kodifikasi hukum dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Digital menggunakan metode omnibus juga memberikan keuntungan pada tataran implementasi dan pemberian edukasi. Penegak hukum akan langsung membuka dan merujuk pada kitab hukum a quo ketika menangani sebuah perkara terkait dengan hukum digital, tanpa harus menghabiskan waktu untuk menemukan norma terkait perkara tersebut.

Meningkatkan pemahaman masyarakat melalui program literasi digital juga dapat dijalankan dengan lebih baik karena semua undang-undang terkait dengan persoalan digital telah berada dalam satu buku. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama dengan kelompok masyarakat sipil hanya butuh untuk menyederhanakan bahasa hukum dalam undang-undang tersebut agar lebih mudah untuk dipahami.

Hal ini juga penting untuk mencegah tafsir bebas yang dilakukan oleh masyarakat dan penegak hukum ketika berhubungan dengan regulasi hukum digital agar tidak terjadi saling lapor antar warga negara dan mengakibatkan tingginya angka pemidanaan terkait delik pada beberapa undang-undang, seperti UU ITE.

*)Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait