Bila LAPD Membuka Tabir Carut Marutnya Aturan Pengawasan Advokat
Fokus

Bila LAPD Membuka Tabir Carut Marutnya Aturan Pengawasan Advokat

Los Angeles Police Department, disingkat LAPD. Penikmat film-film Hollywood pastilah familiar dengan sebutan itu? Apalagi bila Anda baru saja menonton Dark Blue, arahan sutradara Ron Shelton itu.

Mys
Bacaan 2 Menit

Padahal, dalam perundang-undangan lain yang masih lingkup kekuasaan kehakiman, aturan serupa sudah dihapus. Tengoklah pasal 54 ayat (1) UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum. Awalnya, pasal itu menyebut bahwa Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melakukan pengawasan terhadap penasehat hukum dan notaris di daerah hukumnya.

Tetapi ketika UU No. 2/1986 direvisi, menjadi UU No. 8/2004, kewenangan KPN untuk mengawasi advokat (penasehat hukum) sudah dihilangkan DPR. Yang tersisa hanya notaris. Selengkapnya ketentuan baru pasal 54 UU No.8/2004 berbunyi: Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris.

Celakanya, berdasarkan Undang-Undang Notaris yang baru, pasal 54 tadi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Tak percaya? Simaklah pasal 91 angka (4) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pada saat Undang-Undang ini berlaku.....pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379)...dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Secara yuridis, kini pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Untuk menjalankan tugas itu, sesuai amanat undang-undang, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sudah membentuk dan mengangkat anggota Majelis Pengawas Notaris. Sembilan orang anggota Majelis Pengawas Notaris yang dilantik Menteri pada awal Januari lalu adalah Hasanuddin, Abdul Gani Abdullah, Syamsudin Manan Sinaga, Hikmahanto Juwana, Zen Umar Purba, Akhyar Salmi, Winanto Wiryomartani, Irawati Marjuki dan Sugeng Santoso.

Patut dicatat bahwa revisi UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum dan UU Jabatan Notaris dibahas pada waktu yang relatif sama. Dibahas oleh anggota DPR yang sama. Tetapi isinya menunjukkan inkonsistensi alias tidak sinkron satu sama lain. Itu pula yang menimbulkan pertanyaan bagi Natabaya. Jika perundang-undangan lain sudah mencabut mandat pengawasan advokat dari tangan pemerintah dan MA, lantas mengapa pasal 36 UU Mahkamah Agung masih mempertahankan?

Dimana posisi pemerintah?

Abdul Gani mengatakan bahwa pengawasan MA dan pemerintah terhadap advokat tidak bisa dihilangkan begitu saja. Makna pengawasan dalam UU Advokat hanya tindakan teknis dan administratif agar advokat menjalankan profesi sesuai kode etik.

Dalam praktek, ketika seorang advokat membela klien di pengadilan, maka dengan sendirinya hakim sebagai perpanjangan tangan MA melakukan pengawasan. Itu sama saja wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) mengawasi seorang advokat yang berpraktek di persidangan judicial review. Wewenang itu, misalnya, pernah digunakan MK manakala mewajibkan setiap advokat yang berpraktek di sidang MK untuk memakai toga.

Tags: