Bersikap Adil pada Kesejahteraan Hakim
Kolom

Bersikap Adil pada Kesejahteraan Hakim

Perbaiki dulu kesejahteraan Hakim, lalu perkuat pengawasan. Hukuman berat baru tepat dijatuhkan setelahnya.

Bacaan 5 Menit

Stagnan

Sayangnya, permasalahan kembali muncul setelah 11 tahun kenaikan gaji Hakim dengan PP No.94 Tahun 2012. Mengacu data inflasi Bank Indonesia, sejak tahun 2012 hingga tahun 2022 angka inflasi mencapai 45,93% atau rata-rata 4,59 % per tahun. Tentu standar kebutuhan yang layak sudah berubah sepanjang kurun waktu itu. Perlu dilakukan penyesuaian besaran penghasilan mengacu pada inflasi. Penyesuaian itu biasa diupayakan oleh gerakan-gerakan buruh hingga saat ini. Namun, penyesuaian tidak dilakukan terhadap penghasilan Hakim hingga saat ini.

Besaran Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan Hakim yang ditetapkan sejak tahun 2012 hingga tulisan ini terbit belum pernah disesuaikan mengikuti inflasi. Perlu ditekankan di sini, Hakim tidak menerima Tunjangan Kinerja seperti Aparatur Sipil Negara pada umumnya. Hal itu karena status Hakim diatur tersendiri sebagai Pejabat Negara. Otomatis pemenuhan kesejahteraan Hakim hanya bergantung pada Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan—serta beberapa tunjangan lain yang diatur PP Nomor 94 Tahun 2012. Tentu saja PP Nomor 94 Tahun 2012 sudah seharusnya dikaji ulang.

Pemenuhan kesejahteraan Hakim sebenarnya berdampak positif pada meningkatnya potensi negara dan masyarakat untuk memperoleh Hakim berkualitas baik. Ini tidak sekadar upaya pencegahan perilaku koruptif dan menjaga integritas Hakim. Umum diketahui, saat ini sektor swasta menawarkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor publik di Indonesia. Sektor swasta lebih menarik bagi banyak lulusan terbaik Fakultas Hukum di Indonesia. Dengan pertimbangan kesejahteraan, wajar memilih untuk berkarir di sektor swasta alih-alih sektor publik.

Pengabdian?

Narasi bahwa pekerjaan sektor publik adalah bentuk pengabdian semata yang tidak boleh mempermasalahkan kesejahteraan harus mulai ditinggalkan. Narasi tersebut justru menjadi hambatan orang-orang dengan kualitas baik dan berintegritas untuk masuk ke dalam sektor publik. Setiap orang berhak memperoleh penghasilan yang layak, termasuk yang bekerja di sektor publik.

 Laporan Judicial Compensation in New York: a National Perspective –yang dibuat National Center for State Courts—mempertimbangkan penghasilan Hakim yang tidak memadai dapat berdampak para profesional hukum yang berkualitas tidak berminat menjadi Hakim (National Center for State Courts, 2007). Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan seharusnya dilihat sebagai cara menjaring lebih banyak individu-individu yang berkualitas untuk menjadi Hakim. Upaya semacam itu patut diprioritaskan. Hakim yang berkualitas dan berintegritas pengadilan meningkatkan kesempatan masyarakat memperoleh putusan yang adil dan berkualitas. Integritas lembaga peradilan pun akan semakin terjaga.

Pejabat Negara, Gaji PNS

Hal lain yang perlu dikaji ulang dari PP Nomor 94 tahun 2012 adalah pengaturan gaji pokok Hakim yang disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, keduanya berbeda berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU ASN. Hakim adalah Pejabat Negara yang disebutkan setelah Presiden, MPR, DPR, dan DPD.

Besaran gaji pokok memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan jabatan. Permasalahan akan muncul ketika seorang Hakim pensiun. Penghasilan pensiunnya akan turun drastis karena hanya memperhitungkan gaji pokok. Perlu diingat, Hakim diikat oleh kode etik yang melarang berbisnis dan berpolitik sepanjang hidupnya. Hakim juga dilarang membuka praktik kantor hukum selama periode tertentu selepas masa baktinya. Saran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mendorong PNS berwirausaha sangat tidak relevan untuk para Hakim yang masih aktif menjabat. Itu akan sangat berpotensi menimbulkan conflict of interest.

Tags:

Berita Terkait