Antisipasi Penyalahgunaan Data Pribadi Akibat Penggunaan Metode Kampanye Daring
Berita

Antisipasi Penyalahgunaan Data Pribadi Akibat Penggunaan Metode Kampanye Daring

Bagi individu, penargetan iklan politik dapat mengancam privasi.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Penyalahgunaan data pribadi. Ilustrator: BAS
Penyalahgunaan data pribadi. Ilustrator: BAS

Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan penyelenggara pemilu optimis untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 9 Desember 2020 meski pandemi belum sepenuhnya usai. Untuk itu banyak hal yang perlu dipersiapakan terutama penyesuaian-penyesuaian terhadap penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi. Salah satu tahapan di depan mata yang perlu penyesuaian dan akan jadi sorotan adalah tahapan kampanye yang akan berlangsung selama kurang lebih tiga bula.

Kampanye yang sifatnya offline diperkirakan akan beralih pada online dan akan menjadi model kampanye baru menggantikan kampanye yang mengundang kerumunan. Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menilai kampanye virtual melalui iklan politik yang dipasang di platform digital termasuk media sosial akan makin digemari karena memiliki beberapa keunggulan dibanding di media konvensional.

Pertama, partai dan kandidat dapat membuat iklan yang dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen di dalam jaringan (online) sehingga pesan yang disiapkan bisa lebih mengena. Kedua, distribusi iklan dapat ditargetkan spesifik pada kelompok-kelompok tertentu—bahkan ke level individu—sesuai dengan demografi, lokasi geografis, usia, isu yang menjadi perhatian, dan lain-lain.

“Kedua hal tersebut memungkinkan dilakukan dengan memanfaatkan data pemilih pengguna platform digital yang ditambang oleh platform digital atau oleh partai dan kandidat itu sendiri,” ujar peneliti Perludem, Mahardika dalam diskusi daring, Rabu (23/9). 

Meski begitu, Mahardika menilai metode kampanye virtual ini membawa beberapa risiko. Bagi individu, penargetan iklan politik dapat mengancam privasi. Pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilaku menjelajah di daring dapat memberikan informasi yang cukup bagi pengiklan untuk menyingkap dan memetakan kecenderungan preferensi politik pengguna.

Dari pemetaan ini, individu rentan menerima manipulasi informasi. Di sinilah disinformasi hingga deep fake bisa tumbuh subur dan luput dari pengawasan karena hanya dapat dilihat oleh pengguna platform digital tertentu yang menjadi target. (Baca Juga: 6 Usulan Komunitas Konsumen Indonesia Soal Spam SMS Iklan)

Selain itu menurut Mahardika metode kampanye di platform digital juga bisa berdampak pada partai. Biaya iklan politik di media sosial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar daripada partai lain. Hal ini dapat menahan ide-ide politik, dari partai dengan dana kampanye yang kecil, terdistribusi luas ke publik. Partai juga akan makin bergantung pada platform digital untuk menjalankan kampanye politik modern mereka. 

Tags:

Berita Terkait