Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability
Profil

Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability

Lebih dari sepuluh tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku, nyaris tak ada terdengar putusan pengadilan yang menghukum korporasi.

Dny
Bacaan 2 Menit

 

Di perusahaan, korporasi sudah memastikan proses untuk itu, kemudian ada karyawannya yang iseng, bisa saja ya. Kalau kita mau membangun pelaku usaha yang bertanggung jawab, kita harus telusuri siapa pelaku usaha, ada korporasinya, kemudian di dalam korporasi itu kan berlapis-lapis mulai pemegang saham hingga karyawan biasa. Ini kan satu kesatuan.

 

Sejauh apa bargaining position konsumen menghadapi korporasi?

Kalau berhubungan dengan produk cacat, cacat sederhana, mereka sudah menyediakan fasilitas purnajual. Itu sudah ada di Undang-undang dan tanpa ada undang-undang pun pelaku usaha yang beriktikad baik sudah melakukan itu. Yang jadi problem, kalau cacat produksi itu menyebabkan kematian atau luka. Dalam kasus seperti ini konsumen tidak punya akses masuk. Yang bisa masuk ke situ penyidik.

 

Korporasi tidak dikecualikan di dalam UUPK. UUPK menyebut BUMN, BUMND. Sekarang berapa jauh Pertamina –dalam kasus ledakan tabung gas, misalnya, mendapatkan keuntungan. Kalau Pertamina terbukti mendapatkan keuntungan dari tindakan itu bisnis elpiji, ya Pertamina harus dihukum. Bukan santunan, seolah-olah konsumen perlu dikasihani, bukan. Pelaku usaha harus bertanggung jawab.

 

Jadi korporasi baru bisa dipidana kalau memperoleh keuntungan?

Itu kriteria yang menjadi dasar uhntuk menjatuhkan tindak pdana korporasi. Tapi kan korporasi tidak akan dijatuhi pidana kalau tidak dituntut. Kuncinya lagi-lagi pada penyidik dan penuntutu umum. Mungkin penyidik sudah siapkan tapi penuntut umum tidak, kewenangan itu kan secara dominis litis ada di tangan penuntut umum.

 

Kenyataannya memang banyak kasus dimana korporasi diuntungkan?

Diuntungkan atau tidak kan harus dibuktikan. Kita juga tidak bisa hanya sumsi-asumsi, katanya-katanya. Yang punya akses untuk itu adalah korporasi. Kasus BLBI, saya tidak setuju kalau korporasinya dipidana. Itu yang dilakukan penuntut umum sudah benar. Bank menjadi sarana untuk berbuat jahat. Korporasi sebetulnya sebagai korban dari kejahatan untuk membobol uangnya bank itu sendiri, uangnya bank.

 

Dalam tindak pidana korporasi hanya dimungkinkan untuk dibuktikan melalui yang namanya medeplegen. Ajaran penyertaan tindak pidana yang bentuknya medeplegen, turut serta melakukan tindak  pidana. Medeplegennya siapa? Korporasinya itu sendiri.

 

Harapannya ke depan?

Saya sederhana saja. Kita harus mengapresiasi apa yang sudah dilakukan aparat kita ya. Penyidik, penuntut umum, hakim, kita harus apresiasi. Dengan 36 kasus yang saya kaji, ternyata kalau dibilang pengadilan kita bobrok, tidak juga. Dia juga punya peran. Ada proses tahapan-tahapan. Kalau kita ingin pertanggungjawaban pidana korporasi, pengadilan kita itu baru sampai pada tahap menggunakan ajaran kepelakuan fungsional. Ajaran kepelakuan fungsional itulah yang memungkinkan pada lompatan berikutnya, yaitu memidanakan korporasi, dalam hal korporasinya memperoleh keuntungan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: