Wakaf: Instrumen Kesejahteraan Sosial yang Tidak Memandang Agama
Lipsus Lebaran 2020

Wakaf: Instrumen Kesejahteraan Sosial yang Tidak Memandang Agama

Dukungan negara untuk untuk optimalisasi wakaf bagi kepentingan nasional masih rendah.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Di sisi lain, lembaga yang boleh menjadi nazhir berdasarkan undang-undang wakaf harus bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, atau keagamaan Islam. Tidak boleh lembaga yang secara langsung berorientasi komersial seperti perusahaan. BWI masih berusaha memperkuat nazhir yang ada dan meningkatkan kompetensi nazhir. Baca: Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia, dari Era Priesterraad Hingga Era Jokowi)

Apakah entitas bisnis boleh mengakses dana wakaf dari nazhir untuk modal usaha?

Boleh. Mereka menjadi mitra nazhir untuk mengelola wakaf uang. Hubungan nazhir dengan perusahaan itu murni berbisnis. Model bisnis nazhir itu menghimpun harta wakaf, mengelola administrasinya, dan menginvestasikannya. Bisa lewat instrumen lembaga keuangan atau dikelola nazhir bekerja sama dengan mitra bisnis. Poin pentingnya uang aman, menguntungkan, dan usahanya halal.

Kegagalan investasi atau pengelolaan wakaf membuat nazhir wajib mengganti pokok harta wakafnya. Kemampuan nazhir bisa sebagai manajer investasi hingga pengelola properti. Beberapa nazhir bahkan mendirikan perusahaan wakaf sendiri. Mereka lalu melaporkan kepada BWI atas hasil penghimpunan dananya. BWI mengonsolidasikan laporan dari para nazhir dan melihat pertumbuhannya.

Nazhir juga bertugas menyalurkan hasil keuntungan kepada penerima manfaat wakaf yang sudah ditetapkan dalam akad wakaf. Nah, penerima manfaat ini ada yang sudah ditunjuk oleh wakif (orang yang berwakaf-red). Ada juga yang dilepaskan terserah kepada nazhir. Itu disebutkan dalam sertifikat ikrar wakaf. Ada pernyataan wakif soal disalurkan ke mana.

Pembagiannya seperti apa?

Nazhir berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf paling banyak 10 persen. Sisanya untuk disalurkan kepada penerima manfaat wakaf. Sedangkan bagaimana cara, akad syariah yang tepat, dan target keuntungan pengelolaan wakaf diserahkan kepada nazhir.

Lalu BWI dapat apa?

Tidak dapat apa-apa. Hanya regulator yang melaporkan kepada masyarakat soal total dana yang terhimpun dan penyalurannya. Tugasnya hanya untuk mengelola itu. Memang ada keinginan dari kalangan nazhir agar hubungan BWI dengan nazhir seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan-red.) dengan Bank. Termasuk soal iuran. Sebagian nazhir punya ide membayarkan iuran kepada BWI untuk dukungan pengawasan dan pembinaan yang mereka dapatkan. Tetapi belum ada pengatuaran itu dari BWI.

Nazhir ini jauh lebih menantang karena tidak hanya mengelola uang tapi juga aset seperti tanah. Sedangkan pemilik utama dari seluruh harta benda wakaf itu adalah Allah. Wakif bukan sebagai investor langsung yang berkuasa atas nazhir. Harta wakaf sudah dilepaskan kembali kepada Allah untuk dikembangkan manfaatnya.

Apakah regulasi yang ada sudah memadai?

Belum. Berbagai inovasi dan instrumen yang BWI kembangkan masih banyak yang tergolong baru. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia baru menyadari peran strategis pengelolaan wakaf sebagai instrumen keuangan negara. Badan Pertanahan Nasional juga baru mulai memperhatikan aset tanah wakaf yang terbengkalai agar lebih produktif.

Notaris saja banyak yang tidak paham konsep wakaf saat ada perusahaan yang mau mengalihkan saham menjadi wakaf. Lawyer pun banyak yang bingung regulasi wakaf saat ada transaksi atau sengketa berkaitan wakaf. Padahal ini sudah jadi hukum positif.

Tags:

Berita Terkait