Wakaf: Instrumen Kesejahteraan Sosial yang Tidak Memandang Agama
Lipsus Lebaran 2020

Wakaf: Instrumen Kesejahteraan Sosial yang Tidak Memandang Agama

Dukungan negara untuk untuk optimalisasi wakaf bagi kepentingan nasional masih rendah.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Ada lagi aset wakaf benda bergerak berupa uang. Setelah dihitung, Bank Indonesia memperkirakan tidak kurang dari Rp77 triliun per tahun. Ini dengan asumsi wakaf uang diwajibkan kepada warga negara muslim dari penghasilan mereka. Di Singapura dan Malaysia sudah ada keterlibatan negara mengintegrasikan wakaf uang dari gaji yang diterima. Pemerintah di sana ikut mengelola wakaf.

Termasuk Singapura yang negara sekular?

Iya. Majelis ulama di Singapura punya lembaga sendiri. Kewajiban wakaf itu akan mengurangi tagihan pajak warga negara muslim. Secara hukum, mereka bahkan mengatur setiap warga negara muslim wajib dipotong wakafnya. Potongan wakafnya proporsional disesuaikan dengan penghasilan pekerja muslim. Dananya digunakan untuk kesejahteraan sosial. Mereka juga mengoptimalkan wakaf berbentuk tanah di sana. Baik Singapura maupun Malaysia mengundang masyarakat berinvestasi di atas lahan wakaf. Mereka bangun apartemen, perumahan, terminal bis dan lainnya. Itu dihimpun dari wakaf masyarakat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dana yang berhasil dihimpun para nazhir wakaf uang dalam daftar BWI dua tahun belakangan baru mencapai Rp255 miliar. Masih jauh antara potensi dengan yang berhasil dihimpun secara nyata. Namun ada tren peningkatan nilai wakaf uang yang lebih tinggi dibandingkan zakat secara nasional.

Zakat mencapai 22 persen per tahun, sedangkan wakaf uang bisa sampai 30 persen per tahun. Kecepatannya pertumbuhannya bagus, masyarakat semakin mengenal wakaf uang. Walaupun secara volume masih kecil. Tren ini tetap hal yang bagus. Dibutuhkan sosialisasi yang lebih baik soal wakaf sebagai alternatif untuk menghimpun dana. (Baca juga: Ada Irisan RUU Pertanahan dengan Hukum Wakaf)

Pengelolaan wakaf ini tidak eksklusif untuk kepentingan umat Islam?

Tidak sama sekali. Itu yang menarik. Pemanfaatan wakaf tidak hanya untuk kepentingan umat Islam. Bahkan kalau ada wakaf dari nonmuslim juga bisa diterima oleh nazhir (pengelola wakaf-red). Misalnya mau bangun jalan, ruang pertemuan, atau fasilitas umum seperti terminal bis, itu untuk siapa saja. Bahkan hasil keuntungan pengelolaan wakaf bisa disalurkan lagi untuk membantu usaha kecil dan menengah.

Soal penyaluran keuntungan pengelolaan wakaf itu diserahkan kebijakan masing-masing negara. Bagaimana caranya agar produktif. Peradaban Islam sejak di masa lalu itu sudah mengembangkan wakaf secara produktif. Keuangan negara bisa dibantu oleh keuntungan pengelolaan wakaf. Persoalan negara bisa sangat terbantu dengan gerakan wakaf. Semangat dari wakaf adalah keabadian manfaat. Semakin lama semakin berkembang, tidak habis, semakin produktif.

Hukumonline.com

Apa kendalanya sehingga gerakan wakaf belum maksinal selama 16 tahun ini?

Literasi kita soal wakaf masih tertinggal. Negara-negara lain sudah lebih dulu memanfaatkan wakaf sebagai bagian penting dari negara. Undang-undang wakaf kita terhitung belum lama. Bahkan undang-undang zakat juga belum lama di Indonesia. Selain itu persepsi masyarakat soal wakaf bukan konsep yang produktif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait