Viktimisasi Terhadap Pihak Ketiga Beriktikad Baik dalam Perampasan Aset Tipikor
Kolom

Viktimisasi Terhadap Pihak Ketiga Beriktikad Baik dalam Perampasan Aset Tipikor

Jangan sampai penegakan hukum dilakukan secara melanggar hukum.

Bacaan 7 Menit

Kriminalisasi terhadap tersangka tipikor yang terbukti bersalah wajib dilakukan. Namun jangan malah melakukan viktimisasi terhadap orang-orang yang tidak terlibat dan sama sekali tidak bersalah. Seperti halnya para Pihak Ketiga yang Beritikad Baik.

Dalam halnya tindak pidana korupsi, korban tidak langsung (indirect victims)-nya adalah negara (dan juga masyarakat). Karena korupsi membuat pembangunan menjadi terhambat dan hak-hak masyarakat terganggu. Namun dalam penyitaan dan perampasan aset pihak ketiga yang beritikad baik yang menjadi korban langsung (direct victims) adalah pihak ketiga itu sendiri. Apalagi ketika aset/harta benda yang dirampas tersebut adalah aset utama dan penunjang kehidupannya. Kelangsungan hidup sehari-hari, pekerjaan, pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraan dari sang pihak ketiga menjadi amat terdampak.

Kekosongan hukum dan kesulitan dalam memilah-milah harta asli hasil korupsi dan mana harta asli milik nasabah/ pihak ketiga yang beritikad baik adalah satu tantangan yang harus dapat diselesaikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum (rechtsvinding atau judge made law). Nilai-nilai keadian yang bersifat materiil dan substantif harus dapat digali hakim. Tidak sekedar berpatokan pada keadilan yang bersifat formal dan procedural saja.

Ridwan (2008) meyakini bahwa putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir aturan yang berlaku. Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum. Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat.’ Artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.

Lalu pihak kejaksaan-pun harus konsisten dengan prinsip yang terkandung dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 jo Peraturan Kejaksaan Agung RI No. 9 tahun 2019 bahwa pelaksanaan kegiatan pemulihan aset terkait tindak pidana (kejahatan pelanggaran), dan atau aset lainnya untuk kepentingan negara/korban/yang berhak harus dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. Efektif, pemulihan aset harus berhasil dilaksanakan, tepat sasaran, dan sesuai kebutuhan yang diinginkan.
  2. Efisien, kegiatan pemulihan aset harus dilakukan secara cepat, tidak berlarut- larut, dengan biaya sekecil mungkin, dan hasil maksimal.
  3. Transparan, data aset barang rampasan negara harus bisa di monitor oleh pihak terkait dan masyarakat sesuai kebutuhannya.
  4. Akuntabel, dapat dipertanggung jawabkan sesual peraturan perundang undangan yang berlaku.
  5. Terpadu, kegiatan pemulihan aset merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sarna lain dalam satu sistem, tidak terpisah pisahkan secara parsial.

Jangan sampai penegakan hukum dilakukan secara melanggar hukum. Jangan sampai kriminalisasi terhadap pelaku tipikor malah melahirkan viktimisasi terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.

*)Heru Susetyo, Staf Pengajar Viktimologi dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait