Viktimisasi Terhadap Pihak Ketiga Beriktikad Baik dalam Perampasan Aset Tipikor
Kolom

Viktimisasi Terhadap Pihak Ketiga Beriktikad Baik dalam Perampasan Aset Tipikor

Jangan sampai penegakan hukum dilakukan secara melanggar hukum.

Bacaan 7 Menit

Patra M. Zein (2020) mengungkapkan bahwa selama ini perlindungan hukum pihak ketiga yang beriktikad baik atas harta kekayaan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat terbatas. Seringkali terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara pidana korupsi dan pencucian uang oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Patra (2020) menyebutkan bahwa dalam sejumlah putusan perkara pidana korupsi, seringkali aset/harta kekayaan pihak ketiga tersebut dibekukan atau diblokir, dan baru dikembalikan kepada pemiliknya jika perkara sudah diputuskan (inkracht). Persoalannya, pihak ketiga yang harta kekayaannya disita tidak dapat menggunakan atau memanfaatkannya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, penyelesaian perkara pidana korupsi secara normatif rata-rata memakan waktu lima bulan di tingkat pertama; tiga bulan tingkat banding. Penyelesaian perkara lebih lama di tingkat kasasi karena butuh waktu sekitar delapan bulan. Belum lagi jika dihitung sejak tahap penyidikan, tentunya harta kekayaan atau uang yang disita akan lebih lama lagi.

Menurut Patra (2020), memang Pasal 194 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP menjamin barang bukti atau benda yang disita dikembalikan kepada pihak yang paling berhak dalam putusan pengadilan. Namun, tidak ada upaya hukum bagi pihak ketiga yang beriktikad baik untuk mempertahankan hak atas benda yang dirampas untuk negara dalam putusan pengadilan, kecuali upaya hukum keberatan dalam waktu paling lambat 2 bulan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU No.31 tahun 1999.

Nanda Sahputra Umara (2017) berpendapat bahwa bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan terhadap orang yang sebelumnya telah melakukan tindak pidana. Secara prinsip, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas mekanisme in personam (hanya terhadap orang yang didakwakan), sehingga keliru jika hakim dalam putusan ini turut menjatuhkan pidana terhadap pihak para ketiga. Atas dasar tersebut sangat perlu bagi para penegak hukum, khususnya hakim, dalam melaksanakan law enforcement harus lebih cermat dalam memperhatikan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum, sehingga tidak terjadi adanya pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.

Hal penting lain yang patut digarisbawahi adalah perlu ditambahkannya penjelasan dalam Pasal 19 ayat (1) mengenai pihak ketiga yang beritikad baik oleh DPR terhadap UU No. 31 tahun 1999 agar penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap pihak ketiga mempunyai kesepahaman yang sama terhadap apa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang beritikad baik, sehingga akan terwujud kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sementara itu, Muhammad Nur Ibrahim (2016) menyampaikan bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik dalam memperoleh kembali barang miliknya yang dirampas dalam tindak pidana korupsi telah mendapatkan perlindungan hukum sepanjang pihak ketiga mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Namun, hasil penelitian-nya menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pihak ketiga belum optimal. Sebab secara faktual Hakim tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menimbulkan beragam penafsiran karena ketidakjelasan norma, akibatnya putusan Hakim dalam perkara keberatan pihak ketiga beritikad baik cenderung beragam bergantung penafsiran masing-masing Hakim sehingga tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.

Ibrahim (2016) berpendapat bahwa terdapat kekosongan hukum acara tentang tata cara pemeriksaan upaya keberatan, sehingga untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Hakim dituntut untuk melakukan terobosan hukum berupa penemuan hukum (judge made law). Apabila penyitaan dan perampasan terhadap aset/ harta benda pihak dilakukan secara brutal dan serampangan, seperti yang terjadi terhadap aset nasabah AJAW, maka yang terjadi adalah bukan penegakan hukum namun justru adalah pelanggaran hukum dan HAM. Jangan sampai terjadi penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Tags:

Berita Terkait