UU Cipta Kerja Dinilai Menambah Sengkarut Persoalan Tata Ruang
Terbaru

UU Cipta Kerja Dinilai Menambah Sengkarut Persoalan Tata Ruang

Mulai masalah mulai dari konflik kepentingan, tidak sinkronnya koordinasi tata ruang antar daerah, hingga penyimpangan pemanfaatan ruang di wilayah-wilayah tertentu. Ini disebabkan dipangkasnya kewenangan daerah yang mengakibatkan lemahnya pengawasan pemanfaatan ruang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi penataan ruang
Ilustrasi penataan ruang

Persoalan tata ruang di berbagai daerah semestinya dapat diatasi/diselesaikan sejak terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, UU “sapujagat” tersebut merevisi UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun, UU Cipta Kerja malah menambah sengkarut persoalan tata ruang. Alih-alih memperbaiki penataan ruang, kegiatan alih fungsi lahan yang tidak terkontrol terus menjadi penyebab rusaknya lingkungan.

“Adanya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merevisi UU Penataan Ruang justru menambah permasalahan tata ruang karena ditariknya kewenangan daerah ke (pemerintah, red) pusat,” ujar Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fernando Sinaga dalam rapat dengar pendapat umum membahas evaluasi UU 26/2007 di Komplek Gedung Parlemen, belum lama ini.

Dia berpandangan, alih fungsi lahan sepanjang sesuai peruntukan dan dibarengi dengan kajian mendalam tak menjadi soal. Namun yang terjadi, langkah alih fungsi lahan malah mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal sejak satu dawasarsa lebih, Indonesia telah memiliki UU Penataan Ruang. Terlebih, setelah UU 26/2007 direvisi ke dalam UU 11/2020 malah menambah runyam persoalan tata ruang karena ditariknya kewenangan daerah ke pemerintah pusat.

Dampaknya, menjadikan lemahnya pengawasan terhadap terhadap pemanfaatan ruang dan munculnya berbagai masalah dalam penataan ruang. Mulai dari konflik kepentingan, tidak sinkronnya koordinasi tata ruang antar daerah, sampai penyimpangan pemanfaatan ruang di wilayah-wilayah tertentu.

Malahan, lanjut Fernando, pengawasan terhadap pemenuhan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang menjadi isu yang perlu diperhatikan. Sebab praktiknya, peran serta masyarakat dalam memberikan masukan dan aspirasi seringkali diabaikan. Padahal, masyarakat memiliki peran yang besar dalam membantu pemerintah untuk mengontrol pemanfaatan ruang.

Anggota Komite I Agustine Teras Narang punya pandangan senada. Menurutnya, terbitnya UU 11/2020 memunculkan sentralistik kewenangan yang luar biasa. Menurutnya, UU 11/2020 membuat daerah tak lagi memiliki kewenangan yang kuat. “Boleh dibilang kewenangan pemerintahan daerah dikebiri,” sebutnya.  

Dia menyamakan UU 11/2020 seperti halnya berlakunya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang berorientasi pada sistem kapitalis. Yakni dalam hal mementingkan investasi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan isu dan permasalahan tata ruang dan dampaknya dari pembangunan yang tidak terkontrol. Dia melihat selama ini terdapat upaya pemerintah soal bagaimana menarik investasi sebesar-besarnya.

“Sehingga, semua frasa yang ada UU No.26 Tahun 2007 terkait investasi yang menjadi kewenangan daerah itu ditarik,” ujar senator asal Kalimantan Tengah itu.

Senator asal Sumatera Barat, Alirman Sori menilai sejak terbitnya UU 26/2007 hingga munculnya UU 11/2020 yang menggunakan pendekatan omnibus law, isu penataan ruang sudah mati suri. Menurutnya, sejak tahun 2007, nyaris tidak ada peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU No.26/2007 yang diterbitkan.

Padahal dalam UU tersebut telah mengamanatkan pembentukan aturan turunan setingkat PP. Baginya, kekosongan hukum tersebut berpotensi memunculkan berbagai permasalahan serius yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan begitu, UU 26/2007 dipandang belum memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan belum dirasakan kemanfaatannya.

Abraham Liyanto pun angkat bicara. Senator asal Nusa Tenggara Timur ini mengaku heran dengan masih adanya tumpang tindih pembangunan di daerah. Padahal, sudah terdapat sejumlah UU yang mengatur penataan ruang sejak 2007. Dia menginventarisir dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia, hanya 10% yang memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Sementara perwakilan dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPKM) Institut Pertanian Bogor (IPB) Mujiyo berpandangan fakta di lapangan banyak aturan setingkat UU maupun aturan turunannya  yang tumpang tindih, khususnya regulasi tentang tata ruang wilayah Indonesia.

Dia berpendapat isu tata ruang amat krusial. Antara lain soal pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan. Apalagi saat ini, banyak lahan pangan yang beralih fungsi dikarenakan adanya pembangunan maupun proyek strategis nasional. Dia pun mempertanyakan soal bisa tidaknya mempertahankan lahan 7,1 hektar untuk kebutuhan pada 2045.

“Apakah peraturan tata ruang ini bisa mengawali, menyelamatkan, dan mempertahankan lahan sawah. Bahkan analisis BPN tahun 2014 menunjukkan seluruh dokumen RTRW di seluruh daerah tahun 2014 justru merencanakan alih fungsi lahan sawah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait