Upaya Menyamakan Persepsi dalam Industri Asuransi
Kolom

Upaya Menyamakan Persepsi dalam Industri Asuransi

Perbedaan persepsi yang terjadi menunjukkan masih perlu ditingkatkannya keterbukaan informasi oleh pihak asuransi dan sekaligus kemampuan nasabah dalam memahaminya.

Bacaan 5 Menit

Dalam industri jasa keuangan perbedaan persepsi dapat terjadi baik karena faktor keterbukaan pihak penyedia jasa keuangan maupun karena faktor pemahaman nasabah. Seperti misalnya apakah penyedia jasa telah menjelaskan produknya dengan jujur, benar dan lengkap pada saat melakukan penawaran. Kemudian apakah tingkat pemahaman nasabah telah cukup memadai pada saat pembelian dilakukan. Penjelasan yang benar dari pelaku usaha dan pemahaman produk yang benar dari nasabah amat dibutuhkan untuk menghindari perbedaan.

Hakikat Asuransi

Pihak Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator industri asuransi telah mengeluarkan Peraturan OJK No.23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Sesuai peraturan ini produk asuransi adalah program yang menjanjikan perlindungan atas satu jenis atau lebih risiko (Pasal 1 POJK No. 23/POJK.05/2015). Risiko tersebut bisa berupa kerugian, jiwa, kesehatan maupun kecelakaan.

Hal tersebut sejalan dengan UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang antara lain menyatakan bahwa asuransi adalah perjanjian yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi (Pasal 1 UU No. 40 Tahun 2014). Premi itu sendiri adalah imbalan bagi perusahaan asuransi untuk memberikan penggantian kerugian bagi nasabah akibat terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti atau memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung.

Dengan demikian pada hakikatnya makna asuransi adalah memberikan perlindungan bagi nasabah atas risiko tertentu dengan cara mengalihkannya kepada perusahaan asuransi atas dasar imbalan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, imbalan tersebut harus ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai faktor tertentu. Misalnya untuk asuransi jiwa, yang harus dipertimbangkan di antaranya profil risiko, tingkat bunga, tabel mortalita, perkiraan hasil investasi premi dan biaya-biaya. Semakin tinggi risiko yang akan dialihkan, semakin besar imbalan atau premi yang harus dibayarkan.

Jadi asuransi memang bukanlah cara untuk nasabah mencari keuntungan dari suatu peristiwa atau musibah yang menimpanya di kemudian hari. Juga bukan cara untuk perusahaan asuransi menikmati keuntungan dari tidak terjadinya peristiwa atau musibah yang persis seperti yang tertuang dalam polis.

Tingkat Literasi

Menurut survei nasional literasi dan inklusi keuangan OJK di tahun 2019 persentase literasi keuangan responden di bidang perasuransian hanya mencapai 19,4%. Walaupun telah ada peningkatan dari 15,8% di tahun 2016, angka ini masih jauh di bawah sektor perbankan yang telah mencapai 36,12% di tahun 2019.

Kemampuan nasabah untuk memahami produk yang ditawarkan oleh sektor jasa keuangan tentunya amat dipengaruhi oleh tingkat literasi nasabah yang bersangkutan. Rendahnya tingkat literasi perasuransian juga dapat memberikan gambaran umum mengenai seberapa besar kemampuan calon nasabah dalam menentukan atau menganalisis profil risiko yang melekat pada dirinya dan yang akan dialihkannya kepada perusahaan asuransi.

Tags:

Berita Terkait