Uji Coba Rudal Anti Satelit Rusia: Perspektif Hukum Antariksa dan Indonesia
Kolom

Uji Coba Rudal Anti Satelit Rusia: Perspektif Hukum Antariksa dan Indonesia

Komunitas Internasional dewasa ini mengarah kepada upaya pelarangan ASAT. Mulai dari pelarangan sementara hingga terbentuk suatu ketentuan global hingga pelarangan permanen dan sesegera mungkin.

Rezim hukum antariksa berusaha menjadi katalisator guna mencegah meluasnya konflik bersenjata ke ruang angkasa. Perdamaian harus tetap terjamin di luar atmosfer agar tidak menciptakan dimensi medan perang baru. Saat perundingan terjadi pada 1962-1967, penguasa teknologi keantariksaan didominasi oleh dua kutub yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Saat itu Perang Dingin sedang pada puncaknya.

Produk hukum yang dihasilkan pada 1967 ialah the Outer Space Treaty 1967 (OST 1967) sebagaimana menyatakan bahwa ruang angkasa sebagai kawasan bersama umat manusia (the province of all mankind). Tujuannya tidak lain menjaga perdamaian di antariksa sebagaimana menjelma menjadi filosofi hukum antariksa.

Pasal I OST 1967 menyatakan setiap negara memiliki hak yang sama untuk mengakses dan memanfaatkan antariksa, serta dibebaskan untuk melakukan eksperimen ilmiah. Setiap kegiatan umat manusia di antariksa wajib berpedoman untuk tujuan damai (peaceful purposes principle) serta tidak bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1945 sebagaimana termuat pada mukadimah dan Pasal 3 OST 1967. Kebebasan umat manusia di antariksa dijamin selama tidak bertentangan dengan prinsip damai dan Piagam PBB.

Selanjutnya Pasal 4 OST 1967 menekankan larangan suatu negara untuk membawa dan memasang senjata nuklir maupun pemusnah massal (weapon of mass destruction) di ruang angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya. Pada saat bersamaan pasal ini mengizinkan aktivitas militer masih sepanjang tidak untuk tujuan agresif. Kemudian, negara turut didorong agar tidak melakukan tindakan yang membahayakan atau menghindari kontaminasi berbahaya (avoid harmful contamination) yang berdampak bagi lingkungan antariksa maupun objek ruang angkasa milik negara lain.

Abad ke-21 menandai pergeseran aktor kegiatan antariksa dari negara menuju swasta dengan Elon Musk (Space X), Jeff Bezos (Blue Origin), dan Richard Branson (Virgin Galactic) sebagai pionir. Perubahan pola ini menghadapkan rezim hukum antariksa pada suatu keadaan untuk mendefinisikan kembali beberapa makna, termasuk makna tindakan agresif, kontaminasi berbahaya, serta eksplorasi untuk tujuan damai. Masih terdapat keambiguan penafsiran pada pasal-pasal OST 1967. Lumrah mengingat OST 1967 bukan kitab suci dan dirancang oleh umat manusia.

Rezim hukum antariksa dewasa ini melarang penempatan atau instalasi hanya senjata nuklir dan pemusnah massal. ASAT tidak dikategorikan sebagai bagian dari keduanya sehingga penggunaan maupun tes ASAT secara eksplisit masih diperbolehkan. Pada saat bersamaan, sejatinya dunia dapat berargumen kebalikannya, yakni melarang penggunaan ASAT berpedoman pada Pasal 9 OST 1967. Pasal ini mencantumkan kata “avoid harmful contamination” yang bilamana dikaitkan dengan fakta uji coba ASAT menghasilkan ribuan fragmen yang dapat membahayakan satelit lain maupun astronot di antariksa hingga pesawat terbang dan manusia pada permukaan bumi.

Kini dunia juga berbicara mengenai keberlanjutan (sustainability) orbit bumi untuk masa depan umat manusia. Maka tes ASAT yang menghasilkan sampah antariksa (space debris) dan juga awan puing-puing (debris clouds) menjadi perhatian untuk dilarang atau diatur lebih lanjut melalui skema global governance maupun inisiatif regional. Namun, absennya konsensus internasional serta ambiguitas pendefinisian OST 1967 perlu diselesaikan terlebih dulu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait