Uang Pisah dalam Undang-Undang Cipta Kerja
Kolom

Uang Pisah dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Ada pelimpahan kewenangan dari UU Cipta Kerja kepada PP 35/2021 untuk mengatur lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja, termasuk Uang Pisah.

Bacaan 3 Menit
Heri Sutrisno. Foto: Istimewa
Heri Sutrisno. Foto: Istimewa

Rujukan utama Uang Pisah pada dasarnya adalah Pasal 158, Pasal 162, dan Pasal 168 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Namun, pasal-pasal UU Ketenagakerjaan itu nyatanya tidak memberi pengertian definitif mengenai apa itu Uang Pisah. Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan terkait Uang Pisah hanya menjelaskan unsur-unsurnya, “uang pisah merupakan uang yang menjadi hak bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung apabila pemutusan hubungan kerja didasarkan oleh kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh, pemutusan hubungan kerja didasarkan oleh kemauan sendiri pekerja/buruh, atau pemutusan hubungan kerja didasarkan oleh perbuatan mangkir pekerja/buruh selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, sehingga dikualifikasikan mengundurkan diri”.

Baca juga:

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) menyesuaikan siapa subjek—dalam hal ini pekerja/buruh—yang berhak mendapatkan Uang Pisah sebagai berikut. Pertama, terhadap Pekerja/Buruh dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan dasar bahwa putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyatakan Pekerja/Buruh tersebut tidak dapat membuktikan mengenai kebenaran alasan permohonan PHK adalah perbuatan perusahaan yang termasuk dalam Pasal 36 huruf g PP 35/2021.

Kedua, Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Ketiga, terhadap Pekerja/Buruh dilakukan PHK yang didasarkan oleh perbuatan mangkir pekerja/buruh selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, sehingga dikualifikasikan mengundurkan diri.

Keempat, terhadap Pekerja/Buruh dilakukan PHK dengan didasari alasan bahwa Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Kelima, terhadap Pekerja/Buruh dilakukan PHK karena alasan Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf l yang menyebabkan kerugian Perusahaan.

Keenam, terhadap Pekerja/Buruh dilakukan PHK dengan didasari alasan bahwa pengadilan telah memutuskan Pekerja/Buruh yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebelum berakhirnya masa 6 (enam) bulan penahanan Pekerja/Buruh oleh pihak berwajib.

Pemaknaan Uang Pisah berdasarkan ketentuan Pasal 158, Pasal 162, dan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan tidak lagi relevan saat ini karena pasal-pasal itu telah dihapus melalui UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemaknaan atas Uang Pisah langsung merujuk pada ketentuan PP 35/2021.

Pertanyaannya, apakah dengan dihapusnya Pasal 158, Pasal 162, dan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja membuat ketentuan Uang Pisah yang dimuat dalam PP 35/2021 justru secara otomatis juga tidak berlaku?

Dihapusnya Pasal 158, Pasal 162, dan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan—yang merupakan rujukan utama terkait Uang Pisah—tentu berpotensi menciptakan ketentuan yang saling bertentangan antara UU Ketenagakerjaan—sebagaimana telah diubah oleh UU Cipta Kerja—dengan PP 35/2021. Lebih lanjut, pertentangan itu atas dasar fakta bahwa ketentuan Uang Pisah saat ini ternyata tidak diatur dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan Uang Pisah yang masih ada nyatanya masih dalam kPP 35/2021. Kemungkinan pertentangan ini dapat saja membuka peluang untuk penerapan asas lex superior derogat legi inferiori.

Penulis sendiri menilai ketentuan Uang Pisah dalam PP 35/2021 masih berlaku meski ketentuan Uang Pisah dalam UU Ketenagakerjaan telah dicabut oleh UU Cipta Kerja. Perlu diingat bahwa merujuk konsiderans pembentukan PP 35/2021 adalah untuk melaksanakan Pasal 81 dan Pasal 185 huruf b UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kini berlaku melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 serta disahkan dengan UU No.6 Tahun 2023. Jika merujuk ketentuan dalam Pasal 81 angka 45 ayat (3) UU Cipta Kerja, diatur bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Oleh karena itu, jelas bahwa ketentuan tersebut menjadi dasar adanya pelimpahan kewenangan bagi PP 35/2021 untuk mengatur lebih lanjut mengenai Bab V tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Bab V ini mengatur pula terkait dengan Uang Pisah apabila pekerja/buruh mengalami PHK.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan Uang Pisah dalam ketentuan PP 35/2021 masih berlaku bagi perusahaan meski Pasal 158, Pasal 162, dan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan telah dicabut. Penilaian ini juga telah didukung konsiderans pembentukan PP 35/2021. Ditambah lagi ada pelimpahan kewenangan dari UU Cipta Kerja kepada PP 35/2021 untuk mengatur lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja, termasuk Uang Pisah.

*)Heri Sutrisno, S.H. adalah Partner pada Kantor Hukum Arianto & Partners.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait