Tindak Pidana yang Dilakukan Negara Harus Masuk RUU KUHP
Berita

Tindak Pidana yang Dilakukan Negara Harus Masuk RUU KUHP

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menilai masih banyak pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan dasar manusia. Mengapa yang menjadi sasaran selalu warga negara, sementara kejahatan oleh negara tidak masuk?

Mys
Bacaan 2 Menit
Tindak Pidana yang Dilakukan Negara Harus Masuk RUU KUHP
Hukumonline

 

Demikian pula pasal-pasal haatzai artikelen yang di Belanda sendiri sudah lama ditinggalkan. Atau pasal-pasal pidana pers yang dengan gampang ditafsirkan secara sepihak oleh aparat negara. Politik kriminal yang mendasari rumusan perumusan RUU KUHP masih belum mengarah kepada demokratisasi hukum pidana, demikian kesimpulan Elsam.

 

Ifdhal juga mengecam tim perumus RUU KUHP yang lebih concern masuk ke ranah pribadi warga negara ketimbang meng-update ketentuan mengenai tindak pidana di fasilitas-fasilitas umum. Tindak pidana pelayaran dan penerbangan, misalnya, hampir tidak ada perubahan berarti dibanding KUHP yang sekarang berlaku. Padahal, modus yang dilakukan semakin canggih.

Setelah ditetapkan sebagai salah satu RUU Prolegnas 2005, RUU KUHP memang kembali mendapat sorotan. Sejumlah lembaga melakukan kajian terhadap bagian tertentu dari RUU tersebut. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), misalnya, secara khusus mengkaji pasal-pasal terkait dengan hak asasi manusia. Hasil kajian tersebut dilansir di Jakarta, Selasa (15/3).

 

Hasil kajian Elsam menunjukkan bahwa RUU KUHP yang diajukan Pemerintah ke DPR mengandung bahaya overcriminalization. Politik kriminal yang terkandung dalam draf RUU KUHP justru mengancam kebebasan dasar manusia (HAM). Menurut Elsam, ada kecenderungan pemerintah ingin menggunakan hukum pidana sebagai instrumen penekan, bukan lagi sebagai instrumen ultimum remedium.

 

Pada kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif Elsam Ifdhal Kasim secara khusus menyoroti tidak masuknya kejahatan yang dilakukan oleh negara sebagai tindak pidana. Padahal kasus yang terjadi mengindikasikan adanya kejahatan yang dilakukan oleh negara. Misalnya, penghilangan paksa dan penembakan warga yang mempertahankan hak-haknya. Ifdhal menilai, negara pun bisa melakukan kekerasan.

 

Sayangnya, politik kriminal dalam KUHP telah memberikan kewenangan yang luas kepada negara untuk menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (kriminalisasi) dan mana yang bukan (dekriminalisasi). Akibatnya, pasal-pasal yang mempertahankan kekuasaan negara tetap dipertahankan dalam draf RUU KUHP. Sebut misalnya pasal tentang larangan menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Pasal ini jelas akan menghambat kerja dosen, penulis buku dan sejarawan. Sebab, wewenang menentukan sesuatu masuk kategori penyebaran ada pada alat negara.

Tags: