Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis
Kolom

Telaah Implementasi Denda Damai dalam Perspektif Dominus Litis

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice.

Bacaan 9 Menit
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa

Denda damai sebagai salah satu mekanisme penegakan hukum yang mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice), sesungguhnya memiliki dasar hukum yang kuat sebagai dominus litis Kejaksaan. Dapat dicermati, Kejaksaan memiliki kewenangan yang didasari asas oportunitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pada formulasi Pasal 35 ayat (1) huruf K UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengatur mengenai denda damai, yang secara lebih jelas dapat disebutkan “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: k. menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Adapun pada Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf K, “denda damai” adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.

Pada konteks normatif demikian, implementasi denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam melaksanakan penuntutan terhadap tindak pidana perpajakan, kepabeanan, cukai, maupun tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan UU. Namun ketika denda damai demikian diwacanakan untuk diimplementasikan pula pada korupsi kecil (petty corruption), hal demikian menuai polemik. Sebagaimana diketahui, pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI, Kamis 27 Januari 2022 lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan dirinya telah meminta jajarannya untuk tidak memproses hukum bagi pelaku korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta, dan meminta tersangka mengembalikan kerugian tersebut. Hal ini dimaksudkan agar proses hukum bisa diselesaikan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Prinsip atau asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan demikian dikenal juga dengan istilah contante justitie.

Meskipun tidak dijelaskan dengan lebih detail, dalam dunia akademik korupsi kecil-kecilan (petty corruption) mengacu pada situasi yang biasanya menempatkan birokrat tingkat rendah menyalahgunakan jabatan publik mereka untuk keuntungan pribadi. Suap yang terlibat dalam interaksi ilegal ini biasanya berukuran kecil dan sering diterima sebagai uang pelicin. Biasanya korupsi kecil-kecilan sebagai keadaan yang menempatkan masyarakat diharuskan menyuap birokrat agar mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan atau untuk mempercepat proses birokrasi. Selain definisi tersebut, kegiatan pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dan penanggulangan tindakan ilegal, merupakan lahan subur bagi tumbuhnya korupsi kecil-kecilan. Korupsi kecil-kecilan juga berkembang ketika prosedur pemeriksaan tidak mudah dipahami (esoterik).

Baca juga:

Akuntabilitas yang rendah juga berkontribusi terhadap terjadinya korupsi kecil-kecilan. Patokan ekologis yang ketat, rumit dan kompleks menyebabkan pemegang hak pengelolaan lingkungan tidak mampu memenuhinya. Pada akhirnya terjadi perilaku transaksional seperti suap, gratifikasi dan upaya pelemahan kegiatan pengawasan ekologis dengan menawarkan berbagai kompensasi.

Berbeda dengan implementasi denda damai dalam tindak pidana ekonomi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada poin inilah denda damai memunculkan pro kontra ketika diimplementasikan pada konteks korupsi kecil-kecilan (petty corruption) sebagai bagian dari dominus litis kejaksaan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, di mana letak perbedaan cara pandang ketika pro kontra terjadi atas implementasi denda damai diterapkan pada petty corruption? Apakah semangat mengimplementasikan restoratif justice tanpa pembedaan jenis tindak pidana, kecuali hanya besaran kerugiannya tepat untuk dilakukan? Apakah terdapat ketentuan hukum yang dilanggar ketika petty corruption yang kurang dari atau sama dengan Rp50 juta diterapkan denda damai dalam perspektif dominus litis? Berdasarkan beberapa pertanyaan retoris inilah makalah ini selanjutnya diulas.

Perbedaan Pemaknaan Restorative Justice dan Akar Pemikirannya

Sebagai sebuah wacana yang telah berkembang menjadi diskursus, implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis pada petty corruption, patut mendapatkan pencermatan yang seksama. Pada sisi pro, terdapat beberapa argumentasi yang mengedepankan kesetaraan dalam penegakan hukum, utamanya ketika bersinggungan dengan restorative justice. Argumentasi contante justitie yang mengkondisikan penegakan hukum yang efisien dan efektif juga mengemuka pada konteks wacana denda damai pada petty corruption demikian.

Dapat dicermati bahwa penerapan restorative justice saat ini mendapatkan tempat yang istimewa oleh Kejaksaan terhadap tindak pidana umum. Hal demikian ditandai dengan terbitnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai aturan internal kejaksaan dalam penegakan hukum terhadap suatu perkara. Namun demikian, semangat penerapan restorative justice tersebut, belakangan ini terus melaju tidak hanya terhadap tindak pidana umum, akan tetapi diwacanakan menyasar pula terhadap tindak pidana khusus, tidak terkecuali untuk tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa paradigma penegakan hukum telah mengalami pergeseran dari keadilan retributif berupa pembalasan menjadi keadilan restoratif. Keadilan restoratif memberi keseimbangan dalam proses peradilan pidana. Oleh karenanya, keadilan akan muncul saat perdamaian dan harmoni di masyarakat serta pelaku kejahatan dapat diterima masyarakat.

Pada poin ini, dapat dipahami bahwa argumentasi Jaksa Agung ketika mewacanakan pengimplementasian restorative justice untuk berbagai tindak pidana, didasari oleh pemikiran teori hukum pidana modern. Dapat dikemukakan bahwa teori hukum pidana modern lebih bersifat abolisionist yang merupakan anti-tesis dari pemikiran teori hukum pidana klasik yang bersifat lestasionist.

Pada konteks demikian, Jaksa Agung memberikan kritik terhadap paradigma lama yang mengemukakan bahwa upaya menekan tingkat kejahatan adalah dengan cara memidanakan pelaku tindak pidana, utamanya dengan pidana penjara. Upaya pemidanaan seorang dengan pembatasan akses bermasyarakat dengan pidana penjara justru dipandang tidak jarang menimbulkan suatu persoalan baru. Pada kulminasi demikian, penjara dianggap bukan sebagai solusi pemecahan masalah kejahatan. Bahkan penjara dianggap sebagai The Graduate School of Crime (sekolah tinggi tindak kriminal).

Penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itulah para penghuni penjara (lembaga pemasyarakatan) mengalami ‘kesakitan’ akibat berbagai kehilangan, baik kehilangan akan rasa aman, relasi, seksual, otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang yang dimilikinya. Oleh karenanya dilihat dari sisi humanisme, pemenjaraan seseorang dapat dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia. Bahkan Hazairin dalam tulisannya “negara tanpa penjara” menyebutkan bahwa “masyarakat tanpa penjara adalah suatu kondisi ideal yang sangat tinggi mutu filsafatnya dan sangat besar keuntungannya, baik spiritual dan materiil”. Bahwa sebenarnya pandangan Hazairin tersebut berdasarkan pada pola pemikiran abolisionisme. Paham abolisionisme menghendaki adanya penghapusan hukuman mati hingga reformasi terhadap sistem pemenjaraan yang digantikan dengan jenis hukuman lainnya.

Pola pemikiran hukum pidana modern dan konsep keadilan restoratif inilah yang menurut Jaksa Agung sudah seharusnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang berkonflik dengan hukum tanpa pembedaan (diskriminasi). Masyarakat berhak mendapatkan keadilan tanpa memandang golongan dengan tetap memperhatikan berat dan ringannya perkara. Namun harus disadari bahwa untuk kondisi kekinian, yang menjadi payung hukum hanyalah Perja 15 Tahun 2020 yang masih sebatas pada jenis tindak pidana ringan yang melibatkan masyarakat kecil. Maka ketika sejatinya tujuan yang hendak dicapai menghadirkan kemanfaatan hukum dalam skala yang lebih luas untuk tercapainya keadilan restoratif, ketentuan pada level undang-undang sebagai rule of the game penegakan hukum, tentu saja harus diupayakan.

Pemikiran yang pro dan senada dengan gagasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam konteks kejahatan keuangan, tidak terkecuali korupsi, optimasi penanggulangannya dapat menggunakan instrumen keuangan yang saat ini ada. Langkah perampasan aset atau acapkali disebut ‘pemiskinan koruptor’ maupun gugatan keperdataan guna memulihkan kerugian keuangan negara, merupakan bentuk pemidanaan yang tidak hanya sekadar berwujud pemidanaan badan (pemenjaraan). Pendekatan finansial dengan transactioncost demikian merupakan proses penegakan hukum terhadap kejahatan keuangan termasuk tindak pidana korupsi, yang mempertimbangkan beban ekonomi negara dalam proses penanganan perkara maupun biaya bagi narapidana selama menjalani pidananya.

Lalu bagaimana jika ditemukan jenis korupsi kecil-kecilan (petty corruption)? Pada kondisi demikian, Jaksa Agung pernah mengajukan gagasan bahwa korupsi di bawah Rp50 juta tidak dipidana atau cukup mengembalikan hasil korupsinya. Konsekuensi yuridis gagasan demikian tentu saja untuk tindak pidana korupsi kecil-kecilan, penyelesaiannya menggunakan hukum acara pidana yang bersifat ringan atau bahkan diselesaikan di luar persidangan dengan mekanisme denda damai yang disetorkan ke kas negara atau kas daerah. Namun harus diingat bahwa hukum acara pidana khusus, utamamnya berkait tipikor di Indonesia belum mengatur mekanisme demikian.

Satu-satunya ketentuan hukum yang secara khusus berkenaan dengan korupsi kecil-kecilan demikian tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: B113/F/Fd.1/05/2010 perihal Prioritas dan Pencapaian dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi tanggal 18 Mei 2010. SEJA tersebut berisi perintah kepada kepala kejaksaan di seluruh Indonesia agar memprioritaskan perkara tipikor yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian) dan perkara tipikor yang dilakukan terus menerus (still going on).

SEJA ini menekankan bagi masyarakat yang melakukan tindak pidana korupsi dengan kerugian kecil (petty corruption), di bawah Rp100 juta dan telah mengembalikan kerugiannya, maka dapat digunakan konsep keadilan restoratif.

Melalui SEJA ini, tergambar bahwa tidak semua tindak pidana korupsi harus ditangani sebagai extra ordinary crime. Penilaian dan penegakan hukum tersebut menjadi diskresi kewenangan jaksa dalam penuntutan sebagai perwujudan dominus litis. Terlebih Kejaksaan memiliki kewenangan atributif untuk menggunakan asas oportunitas sebagaimana diatur dalam formulasi Pasal 35 UU Kejaksaan. Bahkan pada rumusan Pasal 35 ayat (1) UU No.11 Tahun 2021 mengatur pula mengenai denda damai.

Adapun pada sisi kontra atas pemikiran yang mengimplementasikan denda damai dalam perspektif dominus litis pada petty corruption, dilengkapi pula dengan argumen yang lestasionist dan bersifat positivistik. Di antara beberapa argumentasi yang kontra dikemukakan oleh Ketua Klinik Hukum Universitas Pancasila, Rocky Marbun. Marbun mengemukakan bahwa kebijakan yang diwacanakan Jaksa Agung sebenarnya sudah ada sejak 2010 melalui Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus No.113 Tahun 2010. Selain asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, kebijakan itu juga menggunakan asas keadilan restoratif.

Namun demikian, Marbun menegaskan, telah terjadi pemikiran yang keliru ketika restorative justice diterapkan untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana. Seharusnya, idealitas dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang diselesaikan melalui restorative justice, selain rasa malu yang diprioritaskan, pelaku secara sukarela mengembalikan kerugian negara dan rela untuk menerima jika dihukum. Argumentasi yang bersifat positivistik juga dikemukakan oleh Marbun berkenaan dengan ketentuan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang tidak mengatur mengenai mekanisme penyelesaian keadilan restoratif selain pidana penjara, denda, dan uang pengganti.

Pandangan kontra juga dikemukakan oleh Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari. Pada konteks demikian, Sari mengingatkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi meskipun kerugian keuangan negaranya sama atau di bawah Rp50 juta, harus tetap melalui proses pidana meskipun telah mengembalikan kerugian keuangan negara. Secara normatif positivistik, ketentuan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menjadi pagar pembatas yang tegas bahwa pengembalian kerugian keuangan negara, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memproses pelaku secara pidana. Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Karena itu, meski pengembalian kerugian keuangan negara bertujuan untuk mewujudkan pelaksanaan proses hukum yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, akan tetapi peniadaan pidana tidak mungkin terjadi.

Argumentasi penolakan juga dikemukakan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menegaskan korupsi merupakan perilaku tercela terlepas dari berapapun kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Oleh sebab itu, karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian keuangan negara, namun juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap perilaku yang tercela yang tidak melihat dari berapapun kerugiannya, maka penghindaran pemidanaan (pidana badan) tidak mungkin dilakukan. Pandangan demikian tentu saja diliputi oleh perspektif lestasionist.

Sedangkan dengan nada yang relatif sama, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga mengingatkan bahwa hingga saat ini Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor masih berlaku. Regulasi itu menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana. Pada konteks ini, patut diingat bahwa mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar meringankan tuntutan dan hukuman, bukan justru tidak ditindak. Kurnia menilai pernyataan Jaksa Agung perihal penghapusan pidana pelaku korupsi di bawah Rp50 juta jika mengembalikan kerugian keuangan negara kurang didasari argumentasi hukum yang kuat. Pernyataan Jaksa Agung seolah memberi jaminan bahwa para pelaku korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta tidak akan menjalani proses hukum.

Maka ketika mencermati pro kontra yang terjadi berkenaan dengan implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis pada petty corruption, sesungguhnya terletak pada perbedaan pemaknaan restorative justice. Ketika restorative justice dilihat dari akar pemikiran hukum kritis, maka beragam diskresi yang bersumber dari dominus litis dapat muncul sebagai langkah penegakan hukum oleh Kejaksaan dalam koridor abolisionist. Pembacaan dalam melaksanakan pemaknaan restorative justice yang dituju tidak hanya sebatas literal, akan tetapi hingga mencapai aspek eksistensial (triadik-teks, konteks dan kontekstualisasi) yang bermuara pada kemanfaatan hukum.

Namun demikian, dalam praktik penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, diskresi demikian harus dipayungi dengan ketentuan undang-undang maupun peraturan lembaga negara agar tidak terjebak dalam kondisi underlegislation. Hal demikian tentu saja sangat berbeda ketika pemaknaan restorative justice dibaca secara positivistik yang menelaah sisi literal sehingga mengutamakan kepastian teks. Maka ketika dalam Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maka pembacaan literal akan menghasilkan kepastian ketiadaan diskresi meskipun terhadap petty corruption sekalipun.

Penutup

Telaah implementasi denda damai dalam perspektif dominus litis dapat dicermati dalam konteks normatif maupun pro-kontra pemaknaan restorative justice. Pada konteks normatif, implementasi denda damai dalam tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam melaksanakan penuntutan terhadap tindak pidana perpajakan, kepabeanan, cukai, maupun tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan UU.

Namun ketika denda damai demikian diwacanakan untuk diimplementasikan pula pada korupsi kecil (petty corruption), hal demikian menuai polemik. Ketika restorative justice dilihat dari akar pemikiran hukum kritis, maka beragam diskresi yang bersumber dari dominus litis dapat muncul sebagai langkah penegakan hukum oleh Kejaksaan dalam koridor abolisionist. Pembacaan dalam melaksanakan pemaknaan restorative justice yang dituju tidak hanya sebatas literal, akan tetapi hingga mencapai aspek eksistensial yang bermuara pada kemanfaatan hukum. Namun ketika pemaknaan restoratuve justice dibaca secara positivistik yang menelaah sisi literal sehingga mengutamakan kepastian teks. Maka ketika teks undang-undang menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maka pembacaan literal akan menghasilkan kepastian ketiadaan diskresi meskipun terhadap petty corruption sekalipun.

*)Dr. H. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H.,Wakil Ketua Umum DPN Peradi Periode 2020-2025.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait