Tambal Sulam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
Kolom

Tambal Sulam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

Sejumlah ketentuan baru dari sikap pengadilan menuntut adanya revisi atas UU Kepailitan dan PKPU.

Bacaan 5 Menit
Tambal Sulam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
Hukumonline

UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) menjadi instrumen yang dianggap oleh para kreditur cukup efektif dalam menagih piutang jatuh tempo. Manfaat itu sebenarnya bukan tujuan utama dari pembentukan UU Kepailitan dan PKPU. Namun, data di lapangan tidak menunjukkan mayoritas permohonan baik PKPU maupun Pailit didominasi oleh kreditur.

Permohonan PKPU dan pailit yang berkembang pesat selama 20 tahun terakhir juga diikuti dengan munculnya berbagai aturan mengikat dalam prosesnya. Penting bagi para debitur dan kreditur untuk memahaminya dengan cermat. Berikut ini penulis merangkum beberapa aturan yang juga mengikat dalam utang piutang selain UU Kepailitan dan PKPU. Semuanya berasal dari sikap pengadilan dalam memutus perkara baik dalam forum di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

Baca juga:

Gaji Tertunggak Prioritas Utama

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 menyatakan,“Pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini mempertegas hieraki pembagian harta pailit oleh kurator secara konstitusional. Pembayaran utang atas upah pekerja/buruh (gaji) menjadi prioritas utama dan hak-hak pekerja lainnya­­—pesangon dan lainnya—masuk ke dalam urutan di bawahnya.

Permohonan atas dasar Utang Pekerja/Buruh

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)  Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 menyatakan, “Permohonan Pailit terhadap perusahaan yang tidak membayar hak pekerja hanya dapat diajukan jika hak pekerja tersebut telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dilakukan proses eksekusi sekurang-kurangnya pada tahap teguran aanmaning yang kedua oleh Ketua Pengadilan Negeri serta hak pekerja yang belum dibayar tersebut dianggap sebagai satu utang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hasil Pleno Mahkamah Agung memperjelas tentang utangyang muncul atas hubungan ketenagakerjaan. Ada dua syarat untuk pekerja yang hendak menggunakan langkah hukum permohonan pailit/PKPU untuk menagih utang—yang timbul dari hubungan ketenagakerjaan— terhadap perusahaan. Pekerja harus telah mendapatkan putusan yang tetap dari Pengadilan Hubungan Industrial dan telah menempuh upaya penagihan di Pengadilan Negeri.

Tags:

Berita Terkait