Segera Reformasi Pemberantasan Korupsi
Kolom

Segera Reformasi Pemberantasan Korupsi

Ada sejumlah hal krusial yang harus segera dikerjakan oleh pemangku kepentingan dengan merujuk teori dalam buku The Legal System A Social Science Perspective karya Lawrence M. Friedman.

Bacaan 5 Menit

Kedua, substansi hukum sebagai penopang penegakan hukum, khususnya terkait pemberantasan korupsi, harus diprioritaskan oleh pembentuk undang-undang. Pemerintah dan DPR masih memiliki setumpuk tunggakan legislasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Misalnya saja RUU Perampasan Aset yang sejak tahun 2012 lalu naskah akademiknya sudah selesai. UU Perampasan Aset sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan perampasan aset hasil kejahatan, mengantisipasi banyaknya buronan perkara korupsi, dan mengefisienkan waktu penegakan hukum. Sayangnya, pembentuk undang-undang tidak memiliki semangat yang sama dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. 

Begitu pula pada tunggakan lainnya yakni RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Patut diingat, salah satu akar dari kejahatan korupsi adalah korupsi politik. Praktik politik uang seakan menjadi hal lazim dan menjalar di mana-mana saat kontestasi pemilu berlangsung. Oleh sebab itu, dengan asumsi politik uang menggunakan uang tunai dalam jumlah banyak, maka pembatasan perlu dilakukan. RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal berupaya menutup celah korupsi politik semacam itu. Dorongan perbaikan sektor politik melalui regulasi ini penting terus digaungkan. 

Pembaruan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga harus dilakukan. Seperti diketahui, UU Tipikor terakhir direvisi lebih dari 20 tahun yang lalu. Sementara itu, kejahatan korupsi terus berkembang dan menuntut dilakukannya penyempurnaan undang-undang.

Indonesia sebenarnya mengalami banyak ketertinggalan dalam hal regulasi antikorupsi. Misalnya saja, rekomendasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption) seperti penindakan korupsi di sektor swasta, kriminalisasi praktik perdagangan pengaruh, atau pemidanaan peningkatan harta kekayaan tak wajar (illicit enrichment) tak kunjung diharmonisasi melalui revisi UU Tipikor. 

Ketiga, kultur hukum yang menyasar pada peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi harus dijamin terakomodasi dengan baik. Pada bagian ini, peran serta masyarakat dimaknai luas, termasuk partisipasi pembuatan legislasi, memberi masukan bahkan kritik terhadap kinerja aparat penegak hukum, dan pelaporan dugaan tindak pidana korupsi. Belakangan, peran serta masyarakat dihadapkan dengan praktik intimidasi dan pemolisian. Padahal, jaminan atas peran serta masyarakat tertuang jelas dalam Pasal 41 UU Tipikor. Lagi pula pemberantasan korupsi mustahil berjalan tanpa disertai peran serta masyarakat. 

Tak berlebihan jika dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini berada di titik nadir. Politik hukum pemberantasan korupsi kian melenceng dari tujuan dan harapan. Tidak ada pilihan selain mereformasi total seluruh kebijakan, baik yang menyasar lembaga penegak hukum, legislasi, maupun partisipasi masyarakat. Jika tidak dilakukan, wajah pemberantasan korupsi Indonesia akan semakin tercoreng di mata dunia akibat skor serta peringkat IPK yang tak kunjung membaik. 

*)Kurnia Ramadhana adalah Peneliti Hukum di Indonesia Corruption Watch..

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait