Segera Reformasi Pemberantasan Korupsi
Kolom

Segera Reformasi Pemberantasan Korupsi

Ada sejumlah hal krusial yang harus segera dikerjakan oleh pemangku kepentingan dengan merujuk teori dalam buku The Legal System A Social Science Perspective karya Lawrence M. Friedman.

Bacaan 5 Menit

Selain itu, perlu belajar dari pengalaman sebelumnya ketika terjadi dua orang Pimpinan KPK yang melanggar etik bahkan salah satunya juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus benar-benar cermat dan mengedepankan nilai integritas saat melakukan seleksi. Pengabaian terhadap kritik dan saran masyarakat seperti seleksi tahun 2019 sebaiknya tak lagi diulangi. Poin ini kontekstual dan relevan disampaikan karena tahun 2024 ini proses seleksi Pimpinan KPK akan kembali digelar. 

Reformasi selanjutnya adalah pada kepolisian yang mesti dimulai dari pembersihan internal lembaga dari oknum-oknum polisi korup. Salah satu caranya ialah Polri bisa membentuk unit khusus yang berfokus pada penindakan korupsi di internal lembaganya. Praktik baik di Hongkong saat getol memberantas korupsi di tubuh kepolisian melalui lembaga Independent Commision Against Corruption patut ditiru. Sekalipun tak mudah— karena praktik korupsi diduga sudah mengakar di tubuh kepolisian—akan tetapi upaya itu harus mulai ditempuh. Sederhananya, bagaimana mungkin berharap korupsi akan hilang jika di internal lembaga penegak hukumnya saja masih korup? 

Beralih pada penegak hukum lain yakni Kejaksaan Agung, harus diakui beberapa tahun terakhir korps Adhyaksa mendapatkan kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi. Perlu diingat banyak perkara dengan kerugian negara bernilai besar berhasil diusut kejaksaan. Misalnya, korupsi Jiwasraya dengan kerugian negara Rp16,8triliun, perkara Asabri yang merugikan negara sebesar Rp22,7triliun, dan terakhir pembangunan menara BTS 4G dengan kerugian sebesar Rp8triliun.

Dari sisi penyidikan, tentu langkah kejaksaan ini sangat layak diapresiasi. Akan tetapi, penindakan korupsi bukan hanya tentang memenjarakan pelaku melainkan juga memulihkan kerugian negara. Sayangnya sampai saat ini kejaksaan belum mengumumkan nilai kerugian negara yang berhasil dipulihkan dari sekian banyak penanganan perkara tadi. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas kerja penindakan korupsi oleh kejaksaan harus gencar didorong. 

Selanjutnya, MA sendiri diketahui masih sering menghukum ringan pelaku korupsi. Merujuk data Tren Vonis ICW tahun 2022, rata-rata hukuman untuk terdakwa korupsi hanya 3 tahun 4 bulan penjara. Setiap putusan memang tidak bisa disamaratakan karena memiliki karakteristik masing-masing. Namun, tren vonis ringan praktis selalu mencuat setiap tahun. Belum lagi ditambah kesenjangan atau disparitas yang masih tampak dalam banyak putusan. Dibutuhkan pedoman pemidanaan yang menyasar seluruh bentuk tindak pidana korupsi untuk mencegah hal-hal tersebut, tidak hanya soal kerugian negara saja. 

Bagian akhir fokus perbaikan struktur hukum menyoal peran lapas sebagai muara sistem peradilan pidana. Sebagaimana diketahui, setelah pengundangan UU Pemasyarakatan semakin marak terjadi pemberian remisi bagi pelaku korupsi. Betapa tidak, syarat pengetatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 justru dihapus oleh pembentuk undang-undang. Akibatnya, syarat pemberian remisi bagi pelaku korupsi disamakan dengan pelaku tindak kejahatan lainnya.

Konsep spesialisasi korupsi sebagai extraordinary crime tidak lagi dianggap. Jalan satu-satunya adalah merevisi UU Pemasyarakatan meski itu sulit karena harus berhadapan dengan kepentingan partai politik di DPR. Hal lain yang mesti diperbaiki dari lapas adalah soal pemberian sel mewah kepada terpidana korupsi dan banyaknya praktik pelesiran warga binaan. Bila peristiwa itu terulang, maka pemberian efek jera bagi pelaku korupsi akan sulit terealisasi. Sebagai penanggung jawab utama pengelolaan lapas, Menteri Hukum dan HAM harus memastikan jajarannya dapat menjadi tonggak akhir penyangga penegakan hukum. 

Tags:

Berita Terkait