Ruang Intervensi dalam Reformasi Hukum Kita
Kolom

Ruang Intervensi dalam Reformasi Hukum Kita

​​​​​​​~ Untuk Asep, Dodo dan Supi

Bacaan 2 Menit

 

Keberlanjutan Intervensi dan Tahun Politik

Jeda akan intervensi itu semakin menggigit apabila kita melihat fakta-fakta berikut. Presiden Joko Widodo pada 2017 lalu menyebutkan bahwa peraturan di Indonesia sudah sebegitu banyaknya sehingga layak disebut ‘obesitas regulasi’.  Tercatat ada 3.153 peraturan yang hendak dibatalkan oleh Kemendagri namun sayangnya Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pembatalan tersebut.

 

Kemudian berhubungan dengan kelompok rentan, laporan tahunan LBH Jakarta mencatat selama 2017 pengaduan terbanyak dari kelompok ini adalah pelanggaran hak kebebasan berpikir, berserikat dan beragama sebanyak 666 kasus.

 

Dari simpang yang berbeda, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Aliansi Cinta Keluarga (AILA) untuk memperluas makna perzinaan dalam pasal KUHP. Dengan penolakan ini berarti pertarungan definisi perzinaan sebagaimana dimohonkan AILA kembali ke ranah pembahasan rancangan revisi KUHP bersama DPR dan Pemerintah.

 

Mengapa fakta-fakta tersebut perlu diangkat? Karena sepertinya kita perlu menengok ke fakta-fakta tersebut, bukan saja karena isunya merupakan ranah yang ditinggalkan almarhum Asep, Dodo dan Supi, melainkan karena substansinya integral dengan agenda reformasi hukum, apalagi di tahun politik ini. 

 

Reformasi regulasi pusat dan daerah serta advokasi pembelaan terhadap kaum rentan merupakan dua isu yang menjadi pintu masuk intervensi Asep dan Dodo selama ini. Reformasi hukum pidana dan uji materi perundang-undangan yang diyakini nilai-nilainya bertentangan dengan konstitusi merupakan arena intervensi yang menjadi ranah Supi. Perlu ada pemantapan isu serta agenda lebih lanjut agar ruang-ruang intervensi dari individu tersebut untuk reformasi hukum tidak terhela sejarah.

 

Kita bisa memulai dari pembenahan regulasi yang bertumpuk baik di tingkat pusat maupun daerah dan saling bertabrakan satu sama lain sebagai salah satu target reformasi hukum. Materi lain yang juga perlu dibicarakan dalam reformasi hukum adalah agenda revisi KUHP serta KUHAP yang pembahasannya tertunda hingga kini.

 

Perlu diingat satu tujuan reformasi hukum adalah meningkatnya kualitas demokrasi. Namun sulit bagi kita untuk berbicara secara tertib soal reformasi regulasi, apalagi reformasi hukum, bila kualitas demokrasi kita semakin menipis. Salah satu ciri utama demokrasi adalah terjaminnya kebebasan berpendapat, berserikat dan menyatakan pendapat.

 

Sayangnya pada tahun 2017 ini, LBH Jakarta dalam laporan tahunannya mencantumkan bahwa pelanggaran hak kebebasan berpenadapat, berserikat dan menyatakan pendapat mencapai 600 laporan lebih sebagaimana diuraikan sebelumnya. Kontestasi pilkada di Jakarta lalu ternyata menguatkan politik identitas yang membuat masyarakat semakin tersegregasi dan mempersekusi satu sama lain.

 

Kontras mencatat dalam laporan tahunannya bahwa DKI Jakarta memiliki kasus tertinggi untuk pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat selama tahun 2017 sebagai akibat dari penyelenggaran pilkada. Hal ini dikuatkan dengan temuan Jaringan Relawan untuk Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENET) bahwa selama tahun 2017 telah ada 105 orang yang dipersekusi. Termasuk dalam angka ini wartawan Zulfikar Akbar yang dipecat dari media tempatnya bekerja karena komentarnya dianggap menyinggung ustad, dokter perempuan di Solok hingga kakak beradik yang dianggap pasangan LGBT.

 

Hal-hal tersebut di atas menjadikan ruang intervensi yang sudah dirintis oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi menemukan kegentingannya di tahun 2018 ini. Mesin politik partai dan petahana akan berderu menyukseskan pilkada serentak di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Untuk memastikan ruang intervensi bidang reformasi hukum yang telah dimulai oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi tidak tersia-sia di tahun politik ini, kita semua perlu kritis dan mengawal beberapa hal.

 

Pertama,  tidak menjadikan pilkada serentak sebagai pemaaf untuk menurunnya kinerja aparat penegak hukum terutama untuk kasus-kasus pelanggaran hak-hak sipil yang menimpa kelompok rentan. Tingginya kasus persekusi sebagai akibat pilkada seharusnya merupakan pengingat bagi aparat penegak hukum untuk menjaga netralitas dalam pilkada serta mengedepankan kepentingan publik.

 

Kedua,  mengawal agenda perundang-undangan, khususnya revisi KUHP dan KUHAP agar tidak menjadi komoditas  transaksional untuk kepentingan politik pragmatis. Politik identitas sudah terbukti mampu semakin mensegregasi masyarakat dan ketika materi sensitif masuk ke ranah politik, dampaknya bisa tak terkontrol.

 

Ketiga, menempatkan serta menagih reformasi regulasi baik pusat maupun daerah menjadi bagian dari komitmen program para kandidat yang berlaga di pilkada maupun pilpres. Reformasi regulasi haruslah merupakan agenda yang terorkestrasi dari pusat dan daerah. Tanpa pembenahan regulasi yang sinergis antara pusat dan daerah; tantangan pembangunan yang bersumber dari regulasi takkan mampu ditaklukkan.

 

Keempat, lembaga peradilan harus diintensifkan sebagai arena kontestasi argumen hukum serta keberpihakan pada isu yang berdampak pada kelompok rentan. Individu dan organisasi masyarakat sipil perlu tetap konsisten maju menjadi pihak terkait untuk uji materi perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, memberikan pendapat hukum ataupun berposisi sebagai amicus curae di pengadilan.

 

Langkah-langkah tersebut tentunya bukan resep mujarab dan terbuka untuk dikritik. Namun sirkus pilkada serentak hingga pilpres kelak bisa mengaburkan konsistensi sikap dan keberpihakan individu maupun kelompok. Ruang intervensi yang ditinggalkan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi adalah model dan inspirasi kontribusi bagi siapapun yang bergerak di bidang reformasi hukum. 

 

Secara khusus elemen masyarakat sipil yang bergerak di bidang hukum, adalah untuk menjaga konsistensi, stamina serta mandat kelembagaan agar tetap dalam koridor keadilan dan keberpihakan pada mereka yang rentan dan semakin tersisih dalam hiruk pikuk tahun politik ini.  Dalam jangka panjang, sejarah akan mencatat bagaimana reformasi hukum di Indonesia menjadi semakin kaya dengan model intervensi yang dilahirkan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi.

 

*)Gita Putri Damayana adalah Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait