Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
Kolom

Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana

Sangat penting untuk menegaskan kedudukan ahli, kewenangan hakim untuk menilai keterangan ahli, keterangan ahli tak mengikat hakim.

Bacaan 2 Menit
Disinilah peran penting dan kualitas dari para Hakim teruji dalam memimpin jalannya proses pemeriksaan dan pembuktian perkara pidana yang menganut asas “Penggunaan Alat-Alat Bukti Secara Langsung (Ommiddelijkheid Der Bewijsvoering).”. Dalam posisi yang objektif dengan pendirian yang objektif pula, Majelis Hakim diberikan kebebasan untuk menguji dan menilai keobjektifitasan keterangan seorang ahli, karena baik Ahli yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum/Terdakwa dapat memiliki kecenderungan untuk menguntungkan pihak yang mengajukannya secara subjektif, termasuk untuk menunjukkan ketegasan manakala salah satu pihak memberikan pertanyaan kepada ahli yang sifatnya menjerat atau menggiring ahli untuk memberikan kesimpulan dalam suatu perkara.
Keterangan Ahli Tidak Mengikat Hakim
Sesuai uraian di awal, substansi dari kedudukan keterangan ahli adalah untuk memperjelas tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana, sehingga Keterangan Ahli sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri dan memerlukan alat bukti yang lain untuk dapat dicapainya suatu Keyakinan Hakim.  Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 72 K/Kr/1961 tertanggal 17 Maret 1962 yang memiliki kaidah hukum bahwa hakim tidak terikat pendapat seorang ahli jika pendapat tersebut bertentangan dengan keyakinan hakim.
Tanpa harus “mengambil alih” tugas dari Penuntut Umum, maka peran aktif dari Hakim dalam suatu perkara pidana adalah sangat penting untuk menggali kebenaran materiil, diantaranya untuk mengelaborasi keterangan saksi fakta dan menganalisa perbuatan, kejadian dan keadaan yang memiliki persesuaian yang menandakan telah terjadinya suatu tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pelakunya, atau yang biasa disebut sebagai Petunjuk, karena agak sulit untuk mengandalkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yang oleh undang-undang telah diberikan “hak ingkar” bagi terdakwa dari dakwaan yang dituduhkan kepadanya.
Fiat justitia ne pereat mundus, tegakkanlah keadilan agar dunia tidak runtuh.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dari Penulis selaku pemerhati hukum acara pidana dan tidak dimaksudkan untuk kepentingan pihak manapun juga.
Pentingnya Mempertegas Kedudukan AhliAdagium yang menyatakan bahwa hukum selalu berada di belakang realitas masyarakat nampaknya cukup teruji (Das Sollen - Das Sein, bahkan Das Sullen/hukum yang dicita-citakan). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk dari suatu kejahatan menjadi lebih mutakhir dari bentuk konvensionalnya. Hal ini membuat Penulis teringat akan perkataan Raja Sulaiman yang terkenal akan kebijaksanaannya bahwa tidak ada sesuatu hal yang benar-benar baru di dunia ini, karena sesungguhnya hal itu sudah pernah ada sebelumnya.Sebagaimana halnya alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu Saksi, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, maka kedudukan Keterangan Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana menjadi cukup krusial di era penegakan hukum modern, yang tidak dapat dipisahkan dari kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dianut sistem Pembuktian Negatif (negatief wettelijke), yang berarti hakim hanya boleh menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, apabila ada alat bukti yang cukup dengan disertai keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukannya.Oleh karena itu, semua pihak dalam suatu perkara pidana, yaitu Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasihat hukum dalam upaya bersama mencari suatu kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran materiil), terikat secara wajib (imperative) dan terbatas (limitative) dalam menggunakan alat bukti yang sah, sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan alat bukti lain yang ditentukan dengan kekuatan suatu Undang-Undang, sehingga dapat memberikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memperoleh keyakinannya, dalam mengadili suatu perkara pidana.
Tags: