Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah
Kolom

Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah

Dua bulan terakhir, media nasional memberitakan tiga kejadian menarik yang punya potensi bahaya bagi demokrasi di tingkat daerah.

Bacaan 2 Menit

 

Beberapa hari setelahnya, di hadapan sidang gabungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, 16 Agustus 2010, Presiden SBY membacakan pidato kenegaraan tahunan. Dalam salah satu bagian pidatonya, Presiden menyatakan keprihatinannya terhadap pelaksanaan demokrasi berbiaya tinggi yang terutama terjadi di tingkat daerah. Tidak ada deskripsi lebih lanjut atas pernyataan tersebut, tetapi publik tentu bisa memahami kalimat itu merujuk pada pemilukada di berbagai daerah yang seringkali diwarnai dugaan politik uang, sengketa hasil, bahkan diakhiri kericuhan antarpendukung kontestan.

 

Dua kejadian yang disebut terakhir di atas tak kalah berbahayanya. Walaupun bukan gagasan baru, lontaran wacana pemilihan gubernur oleh presiden kali ini perlu diwaspadai karena berasal dari seorang ketua partai politik yang fraksinya memiliki 28 kursi di DPR. Bukan tidak mungkin, apabila digulirkan menjadi topik yang dibahas dalam ruang sidang dan lobi parlemen, ide itu akan mendapatkan banyak dukungan dari para anggota DPR yang masih memiliki pandangan positif terhadap sistem pemerintahan sentralistik.

 

Sementara itu, keprihatinan Presiden SBY soal pemilukada yang berbiaya tinggi justru harus dilihat sebagai peluang untuk menciptakan sistem pelaksanaan demokrasi yang lebih baik dari yang ada saat ini. Bukan hanya di daerah, tingkat pusat pun memiliki kebutuhan yang sama terhadap keberadaan sistem pemilihan umum yang mumpuni. Pengalaman negara ini yang telah menyelenggarakan tiga pemilu pascareformasi dengan tiga mekanisme berbeda perlu dibenahi dengan memperbaiki secara menyeluruh segala ketentuan terkait penyelenggaraan pemilu.

 

Penggabungan pemilukada ke dalam rezim pemilu sejak terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan diubahnya UU Pemda telah sangat baik menjadi awal untuk mengupayakan pembenahan menyeluruh tersebut. Langkah positif itu sudah selayaknya ditindaklanjuti dengan revisi berbagai ketentuan terkait.

 

Proses perubahan UU Penyelenggaraan Pemilu yang kini berjalan di DPR perlu dikawal sebaik-baiknya oleh kalangan masyarakat sipil dan akademisi. Di sisi lain, yang jauh lebih fundamental, para penyelenggara negara di tingkat pusat maupun daerah harus meningkatkan kepatuhannya terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada dan menjadikannya sebagai koridor mereka untuk bekerja. Bukan justru sebaliknya, para penguasa di Jakarta ramai-ramai berusaha “mengembalikan demokrasi” ke pusat dan pelan-pelan mematikan demokrasi di daerah.

 

-----

*) Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Tags: