Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah
Kolom

Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah

Dua bulan terakhir, media nasional memberitakan tiga kejadian menarik yang punya potensi bahaya bagi demokrasi di tingkat daerah.

Bacaan 2 Menit

 

Sikap MK dalam perkara PHPUD Kabupaten Kotawaringin Barat yang kontras berbeda dengan tren putusan mereka tiga tahun belakangan tak heran menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan tentangan, dari para pemerhati hukum. Pengabaian norma seperti diuraikan di atas menunjukkan adanya logika hukum para Hakim MK yang melompat terlalu jauh ketika mereka mempertimbangkan berbagai norma terkait sebelum menjatuhkan putusan.

 

KPU Kabupaten Kotawaringin Barat pun kini dihadapkan pada posisi amat sulit. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tanpa ada upaya hukum tersebut mewajibkan pihak yang dituju dalam putusan untuk segera melaksanakan tindakan yang diperintahkan. Artinya, berdasarkan putusan MK, KPU Kabupaten Kotawaringin Barat wajib menetapkan salah satu kandidat sebagai pemenang pemilukada walaupun hasil penghitungan suara menunjukkan kandidat tersebut tidak meraih suara terbanyak.

 

Dari sisi normatif, KPU Kabupaten Kotawaringin Barat juga terikat untuk melaksanakan ketentuan mengenai penetapan pemenang pemilukada berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dalam kondisi seperti ini, kedudukan UU Pemda dan PP Pemilukada sebagai norma hukum yang bersifat khusus atau lex specialis menjadi satu-satunya pedoman untuk menentukan arah bola panas yang kini dipegang KPU Kabupaten Kotawaringin Barat.

 

Pilihan MK untuk tidak memedomani UU Pemda maupun PP Pemilukada ini kecil kemungkinan disebabkan oleh keteledoran. Sembilan orang yang begitu memahami ketatanegaraan dan konstitusi Indonesia tersebut tentu sudah menimbang masak-masak hingga akhirnya memberikan kata akhir. Itulah mengapa kejadian ini mau tidak mau dapat disebut sebagai bentuk pengabaian hukum. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena, di masa mendatang, bisa jadi kecenderungan pengabaian hukum dianggap lazim dalam sebuah proses penegakan hukum.

 

Walaupun MK diizinkan turut campur dalam proses penyelesaian sengketa hasil, tetapi wewenang itu selesai pada produk putusan yang menyatakan sah/tidaknya proses yang dilaksanakan di tingkat KPU tingkat daerah. Artinya, KPU tingkat daerah tetap menjadi pengawal dan penentu proses dari awal hingga akhir pemilukada.

 

Pengabaian ketentuan normatif pemilukada seperti yang terjadi dalam proses pencarian keadilan di MK itu seolah meniadakan fungsi KPU tingkat daerah yang diberi kekuatan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pentas demokrasi di daerah. Potensi “mati”-nya demokrasi di tingkat daerah pun menguat akibat campur tangan berlebihan yang dipraktikkan oleh lembaga negara di tingkat pusat.

 

Ancaman dari Pusat

Tak lama sejak putusan MK yang mengundang perdebatan itu, tepatnya di pertengahan Agustus, media nasional mewartakan kabar lain. Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Muhaimin Iskandar, yang kini memimpin Partai Kebangkitan Bangsa, menggulirkan wacana pemilihan gubernur oleh presiden. Posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi dasar argumennya. Menurutnya, ke depan, gubernur cukup ditunjuk oleh presiden berdasarkan sejumlah nama yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tags: