Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba
Kolom

Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba

Dilihat dari perspektif hukum acara MK, putusan Perubahan UU Minerba ini memiliki dua dampak.

Bacaan 7 Menit
Bisariyadi, Foto: Istimewa
Bisariyadi, Foto: Istimewa

Banyak kalangan mungkin menghela nafas lega, ketika majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan uji formil UU Minerba (Putusan Nomor 60/PUU-XVIII/2021). Putusan yang dibacakan akhir Oktober lalu itu, menghembuskan angin segar bagi pembentuk UU yang tentunya menyambut hasil akhir putusan dengan sukacita.

Ditolaknya permohonan uji formil UU Minerba oleh MK sama artinya bahwa segala proses pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2020 (Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, selanjutnya disebut Perubahan UU Minerba) yang dilakukan oleh pembentuk UU telah memenuhi syarat konstitusionalitas dalam hal tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan.

Putusan dalam pengujian formil membawa konsekuensi yang sangat signifikan terhadap daya laku dan daya ikat dari UU yang diuji. Sebab, bilamana majelis hakim sampai pada kesimpulan bahwa pembentuk UU telah melanggar tata cara pembentukan UU maka imbasnya adalah UU yang diuji tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan pengujian materiil yang hanya menilai konstitusionalitas dari bagian-bagian tertentu dalam suatu UU, entah pasal, ayat atau frasa.

Meski demikian, dalam pengujian materiil pun tidak tertutup kemungkinan untuk menguji keseluruhan isi dari sebuah UU. Akan tetapi, butuh energi yang sangat besar dalam uji materiil seluruh isi UU. Pemohon diwajibkan untuk menguraikan secara rinci argumentasi dari tiap-tiap bagian dalam UU tersebut untuk dapat membuktikan bahwa keseluruhan isi dari UU yang diuji itu bertentangan dengan Konstitusi.

Berbeda halnya dengan uji formil. Pemohon, dalam uji formil, hanya perlu mendalilkan bahwa ada prosedur dalam pembentukan UU yang bila dilihat dari kacamata Konstitusi tidak dilakukan sesuai dengan pedoman dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Bila majelis hakim menilai dalil kesalahan prosedur yang dibangun oleh Pemohon berdasar dan terbukti tanpa terbantahkan maka UU yang diuji dapat dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh sebab itu, pengujian formil menjadi jalan pintas bagi para pihak yang tidak bersepakat secara bulat akan kebijakan-kebijakan yang terkumpul dalam sebuah UU.

Putusan MK yang menolak permohonan uji formil Perubahan UU Minerba berarti bahwa kebijakan yang terkandung dalam UU tersebut dapat terus dilanjutkan. MK menilai tidak ada kesalahan prosedur dalam pembentukan Perubahan UU Minerba. Meski tidak juga berarti bahwa secara serta merta, isi dari Perubahan UU Minerba dianggap sejalan dengan Konstitusi. Pintu pengujian materiil dari Perubahan UU Minerba masih terbuka lebar.

Bila Perubahan UU Minerba tidak dibatalkan keberlakuannya dan segala kebijakan yang diambil masih dapat dilanjutkan maka yang menjadi pertanyaan, dan merupakan inti dari tulisan ini, adalah apa imbas dari putusan uji formil Perubahan UU Minerba tersebut? Tulisan ini berangkat dari sudut pandang hukum acara MK. Dari perspektif itu, maka putusan uji formil Perubahan UU Minerba memiliki dampak pada dua hal, pertama ada perkembangan pemahaman akan hakikat uji formil yang menjadi watak dasarnya; dan kedua terdapat pesan politik yang terkandung pada putusan tersebut, wa bil khusus yang disampaikan dalam dissenting opinion.

Watak Uji Formil

Uji formil, yang juga merupakan bagian dari pengujian UU, adalah perkembangan mutakhir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan ini diwujudkan awal tahun 2000-an melalui perubahan UUD 1945 dengan memberikan kewenangan pengujian UU kepada MK. Bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang menjadi tanah kelahiran constitutional review melalui lembaga peradilan tersendiri, gagasan ini muncul dan diwujudkan tahun 1920-an. Terdapat beda kurang lebih delapan dekade antara Indonesia dan negara-negara Eropa dalam pengembangan kewenangan pengujian UU. Oleh karenanya, wajar bilamana pengembangan hukum acara uji formil di Indonesia pun seolah sedang mencari bentuk.

Perlahan tapi pasti, pencarian bentuk hukum acara formil satu per satu muncul dalam kandungan pertimbangan majelis hakim putusan permohonan uji formil. Hingga saat ini, MK belum pernah sekali pun mengabulkan permohonan uji formil yang diajukan oleh beragam pemohon. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya kerap memasukkan unsur untuk membentuk hukum acara. Diawali dengan Putusan uji formil UU Mahkamah Agung (lihat Putusan Nomor 27/PUU-VI/2009), MK membentuk preseden bahwa dalam uji formil terdapat tenggang waktu pengajuan permohonan. Uji formil suatu UU hanya dapat diajukan dalam waktu 45 hari setelah dimuat dalam Lembaran Negara. Dalam putusan yang sama, MK juga mempertimbangkan kriteria standing yang harus dipenuhi para pihak untuk dapat mengajukan permohonan uji formil.

Pada putusan uji formil Perubahan UU KPK (lihat Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019) MK tidak hanya membatasi tenggang waktu pengajuan permohonan uji formil tetapi juga membatasi proses pemeriksaan dalam persidangan. MK membuat komitmen bahwa dalam pemeriksaan uji formil maka putusan harus sudah bisa dibacakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja sejak perkara diregistrasi. Konsekuensinya, pemeriksaan perkara uji formil dan uji materiil tidak bisa digabungkan dalam satu permohonan. MK menyebutnya sebagai proses terpisah (split process), dalam bentuk penjatuhan putusan sela sebagai tindakan prioritas untuk menyelesaikan perkara uji formil terlebih dahulu.

Sebagaimana halnya karakter kewenangan pengujian UU secara umum, uji formil juga memiliki watak yang bersifat abstract review. Artinya, pengujian suatu UU tidak perlu dipicu oleh adanya kasus konkret terlebih dahulu. Watak abstract review dalam pengujian UU adalah untuk memberi justifikasi akan kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebab UU yang akan atau telah diterbitkan dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan Konstitusi.

Dalam konteks uji formil, watak abstract review diidentikkan dengan fungsinya sebagai tahap finalisasi dari proses legislasi sebab uji formil memungkinkan pengadilan untuk menjadi pembaca akhir dari rancangan undang-undang yang telah melalui serangkaian proses. Alec Stone Sweet dalam artikelnya berjudul The Birth and Development of Abstract Review: Constitutional Courts and Policy-Making in Western Europe berujar bahwa “…abstract review therefore functions to extend what would otherwise be a concluded legislative process— referrals in effect require the court to undertake a final "reading" of a disputed bill or law” (1990: 84).

Akan tetapi, uji formil memiliki keunikan. Meskipun berwatak abstract review tetapi dalam pemeriksaan uji formil yang menjadi titik perhatian adalah peristiwa hukum konkret dalam konteks prosedur pembentukan UU. Dalam uji formil Perubahan UU Minerba, salah satu yang menjadi perhatian pemohon adalah proses penyusunan Rancangan UU (RUU) yang diserahkan dan dilanjutkan kepada DPR periode berikutnya. Proses keberlanjutan ini disebut dengan RUU operan (carry over).

Prosedur kelayakan pembentukan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan inilah yang kemudian membuat majelis hakim terbelah. Putusan uji formil Perubahan UU Minerba tidak disepakati secara bulat. Ada tiga hakim konstitusi yang menyatakan beda pendapat (dissenting opinion). Kelompok mayoritas (terdiri dari 6 hakim konstitusi) menyimpulkan bahwa prosedur pembahasan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan merupakan proses yang telah sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Adanya peristiwa konkret berupa persetujuan untuk menyerahkan pembahasan lanjutan kepada DPR periode berikutnya dan pencantuman RUU dalam progam legislasi nasional (prolegnas) merupakan indikasi dari kesesuaian dengan prosedur pembentukan UU. Akan tetapi, kubu dissenting berpendapat lain.

Pesan Terselubung dalam Dissenting Opinion

Kubu dissenting, yang terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Suhartoyo, memiliki pandangan berkebalikan dengan mayoritas mengenai kelayakan prosedur pembahasan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan. Kubu dissenting menilai bahwa untuk layak disebut RUU operan, suatu RUU harus memenuhi dua persyaratan, yaitu: (i) telah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM); dan (ii) dimasukkan kembali dalam daftar prolegnas berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD. Setelah menelusuri bukti-bukti, kubu dissenting tiba pada kesimpulan bahwa pembahasan Perubahan UU Minerba tidak memenuhi syarat sebagai RUU operan.

Pertanyaannya, apakah bila terdapat satu saja ketidaksesuaian pembahasan sebuah RUU dengan prosedur berarti RUU itu telah cacat secara formil sehingga dalam pemeriksaan uji formil-nya MK dapat mengabulkan permohonan? Kubu dissenting menanggapinya secara lugas, “iya”. Satu tahap atau satu standar saja tidak terpenuhi maka uji formilnya dikabulkan dan UU dapat dibatalkan secara keseluruhan. Mengutip pertimbangan majelis hakim kubu dissenting disebutkan bahwa, “… jikalau satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil suatu undang-undang tidak perlu dibuktikan telah terjadi kecacatan dari semua tahapan atau kecacatan dari semua standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan sudah cukup untuk menyatakan adanya cacat formal pembentukan undang-undang.” (Putusan 60/PUU-XVIII/2021, para. [6.3])

Tersirat, kubu dissenting mengadopsi prinsip dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) terkait dengan asas due process of law. Prinsip ini diterapkan dalam proses legislasi, bahwa dalam membentuk UU prosesnya harus dilakukan secara tepat dan patut. Kubu dissenting meminjam istilah due process of law-making. Pandangan ini wajib menjadi wanti-wanti bagi Pembentuk UU dalam menjalankan proses pembentukan peraturan perundang-undangan dengan baik.

Namun demikian, pandangan ini belum mewakili pandangan MK secara keseluruhan. Pertimbangan mayoritas masih membisu mengenai pandangan ini. Seberapa besar toleransi yang bisa diberikan kepada pembentuk UU untuk dapat dikatakan bahwa pembahasan suatu RUU telah melanggar prosedur yang diukur secara konstitusional? Apakah mayoritas hakim bersepakat dengan pandangan kubu dissenting bahwa hanya dibutuhkan satu tahapan atau satu standar yang terlanggar sehingga stempel cacat formil dapat disematkan dalam proses pembentukan UU?

Pertanyaan-pertanyaan ini masih tersimpan dan belum terjawab. Meski demikian, jawabannya pun tidak akan memakan waktu lama. Sudah terpampang di depan mata pemeriksaan perkara uji formil UU Cipta Kerja. Putusan-putusan sebelumnya, dalam rangka uji formil UU KPK dan Perubahan UU Minerba, pantas untuk disebut sebagai laga-laga pemanasan untuk membangun dan mengembangkan hukum acara. Uji formil UU Cipta Kerja merupakan partai puncaknya. Seberapa ketat standar pengujian yang akan diterapkan majelis hakim dalam uji formil UU Cipta Kerja? Seberapa besar pengaruh pandangan kubu dissenting dalam Putusan uji formil UU Minerba akan mewarnai pertimbangan dalam uji formil UU Cipta Kerja?

Dalam konteks pengembangan hukum acara, perkara uji fromil yang diperika MK membuka kesempatan untuk membangun pemahaman yang menyeluruh mengenai hakikat pengujian UU, khususnya dalam pengujian formil. Terlepas dari hasil akhir yang menjadi amar putusan MK, apapun putusan yang akan dijatuhkan selama diimbangi dengan penalaran hukum yang kuat dan penjelasan berdasarkan argumentasi yang baik maka publik maupun pembentuk UU akan dapat dipastikan untuk selalu berada dibelakang MK. Sebab yang dituntut dari pengadilan bukan hanya kesimpulan akhir, tetapi juga alasan-alasan yang mendasarinya. Inilah hakikat pengadilan sebagai lembaga yang memberi narasi dan wacana (deliberative institution).

*)Bisariyadi adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait