Plus dan Minus Arbitrase dalam Perma No.3 Tahun 2023
Kolom

Plus dan Minus Arbitrase dalam Perma No.3 Tahun 2023

Tiga catatan penting soal imunitas arbiter, pendaftaran putusan arbitrase internasional, dan penetapan sita jaminan.

Bacaan 5 Menit

Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 adalah penegasan dan kelanjutan yang memang diperlukan. Hal ini mengingat hampir seluruh gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase—secara tidak perlu—malah menarik pihak lembaga arbitrase. Lihat contohnya pada putusan arbitrase nasional PT Pertamina EP v. Konsorsium PT Inti Karya Persada Tehnik dan PT Adhi Karya (Persero), BANI serta PT Bank Mandiri Tbk. (2016). Contoh pada putusan arbitrase internasional misalnya PT Media Nusantara Citra, Tbk. v. Ang Choon Beng, Linktone International Limited, Linktone Ltd., Gordon Smith dan SIAC (2018).

Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 sesuai dengan konsep imunitas arbiter dan lembaga arbiter yang berlaku secara internasional. Contohnya di Pasal 25A Singapore International Arbitration Act dan Pasal 29 United Kingdom Arbitration Act. Namun, tetap ada pengecualian. Kita bisa belajar dari perkara PT Timas Suplindo v. BANI dan Leighton Offshore Pte. Ltd. (2016). Satu pihak menggugat lembaga arbitrase BANI terkait hak ingkar dan izin kerja arbiter asing yang telah ditunjuk. Jadi, suatu lembaga arbitrase dan mungkin arbiter dapat tetap dijadikan pihak di dalam gugatan terkait hak ingkar. Imunitas atau pengecualian sebagaimana ada di Pasal 24 ayat (6) Perma 3/2023 tidak ada dan tidak diatur khusus untuk permohonan hak ingkar ke pengadilan yang diatur di Pasal 5 Perma 3/2023.

Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

Perkara PT Garuda Indonesia v. Birgen Air (2002) memperjelas bahwa bisa terdapat perbedaan antara domisili hukum (seat) dan tempat pelaksanaan persidangan (venue) suatu proses arbitrase. Perkara tersebut juga memperlihatkan bahwa negara yang terlibat dalam suatu proses arbitrase internasional bisa banyak. Bisa ada negara pemohon, negara termohon, negara seat, dan negara venue.

Sayang sekali dalam hal ini Pasal 7 ayat (3) Perma 3/2023 patut disesalkan. Isinya tentang pengaturan mengenai pendaftaran putusan arbitrase internasional, tetapi sekadar mengulangi Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999. Perlu diingat ada perbedaan—entah disengaja atau tidak—antara Pasal 66 huruf a UU 30/1999 dengan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999. Masalahnya perbedaan itu menimbulkan ketidakjelasan yang seharusnya bisa diluruskan oleh Perma 3/2023.

Pasal 66 huruf a UU 30/1999 mengatakan negara yang harus terikat dalam suatu perjanjian pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah negara di mana putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan—sederhananya adalah negara tempat seat. Di sisi lain Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 mengatakan bahwa negara yang harus terikat dalam suatu perjanjian pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah negara pemohon.

Jelas di dalam praktik bahwa ada kemungkinan perbedaan antara negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan dengan negara pemohon. Hal ini yang kemudian dieksploitasi pada perkara PT Indiratex Spindo v. Kepala Perwakilan Indonesia di London (2014) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. PT Indiratex Spindo menggugat surat keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia di London. Isi surat itu menyatakan bahwa Pasal 66 huruf a dan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 terpenuhi—karena Inggris sebagai tempat putusan arbitrase dikeluarkan oleh International Cotton Association merupakan penandatangan New York Convention 1958.

Masalahnya, pemohon di dalam perkara tersebut—yaitu Everseason Enterprises Ltd.—berasal dari British Virgin Islands yang bukan penandatangan New York Convention 1958. Artinya, perbedaan yang ada di Pasal 66 huruf a dan Pasal 67 ayat (2) huruf c UU 30/1999 seharusnya diluruskan Perma 3/2023. Ketidakjelasan yang ada dapat kembali dimanfaatkan pihak-pihak tidak mau mematuhi suatu putusan arbitrase.

Tags:

Berita Terkait