‘Penghayat Kepercayaan’, Perlu Disikapi dengan Revisi UU Adminduk
Berita

‘Penghayat Kepercayaan’, Perlu Disikapi dengan Revisi UU Adminduk

Putusan MK menjadi momentum dalam melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan lainnya. DPR dan pemerintah mesti segera membahas menyikapi pelaksanaan putusan MK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

"Terkait pelaksanaan putusan MK tergantung hasil penyusunan dan pembahasan Revisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan oleh pembuat UU yakni DPR dan Presiden,” katanya. (Baca juga: Kini, ‘Penghayat Kepercayaan’ Masuk Kolom Identitas Kependudukan)

 

Lebih lanjut, Arwani menilai revisi UU Adminduk nantinya mesti masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas atau kategori daftar kumulatif terbuka atas putusan MK. Dengan begitu pelaksanaan putusan MK tersebut dapat dengan mudah dilaksanakan pihak pemerintah. Menurutnya, revisi UU Adminduk mesti mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan merupakan entitas yang berbeda dan dilindungi oleh konstitusi.

 

Terpisah, peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi berpendapat putusan MK telah sesuai dengan spirit konstitusionalitas Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agama masing-masing dan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaanya itu. “Secara simbolik,  pemeluk aliran kepercayaan diakui keberadaannya,” kata Ferdian.

 

Menurutnya, putusan MK tersebut mesti dijadikan momentum melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan lain. Sehingga, eksistensi pemeluk penghayat kepercayaan dalam identitas tidak hanya sekedar simbolik. Sebaliknya, justru putusan MK menjadi jaminan perlakuan yang sama oleh negara terhadap warga negaranya dalam menganut agama dan kelompok penghayat kepercayaan. (Baca juga: Pengkhayat Kepercayaan Persoalkan Pengosongan Kolom Agama)

 

“DPR dan pemerintah mesti bergerak dengan cepat untuk mengakomodasi putusan MK ini. Karena putusan ini bersifat final dan mengikat. Salah satunya, memang perlu melakukan perubahan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” katanya.

 

Sekedar diketahui,  Selasa (7/11) kemarin, MK memutuskan penghayat kepercayaan tertulis dalam kolom setiap identitas kependudukan sama halnya dengan agama yang diakui di Indonesia melalui pengujian Pasal ayat (1), (2), Pasal 64 ayat (1), (5) UU Adminduk. Bagi MK, pengosongan kolom yang diatur dalam UU Adminduk itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan.

 

Akibatnya, ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian penafsiran, sehingga penganut kepercayaan kesulitan memperoleh KK dan e-KTP. Hal itu tentu menimbulkan kerugian konstitusional yang mestinya tidak boleh terjadi. Untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, para penganut kepercayaan kini dapat mencantumkan kolom agama di e-KTP (KK) dengan tulisan “penghayat kepercayaan”. Tanpa perlu merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun e-KTP. Begitu juga dengan penganut agama lain.

Tags:

Berita Terkait