Pembubaran DPR secara Konstitusional?
Kolom

Pembubaran DPR secara Konstitusional?

Ketegangan yang berkepanjangan antara DPR dan presiden belakangan ini semakin memuncak dan menimbulkan berbagai spekulasi politik di masayarakat. Salah satu spekulasi yang terdengar adalah bahwa presiden akan membubarkan DPR melalui suatu dekrit.

Bacaan 2 Menit

Usaha yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah mosi pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang konstituante yang terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 45) kepada Presiden Soekarno (ibid).

IPKI dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka tidak akan datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di Bandung dalam rangka pembubaran konstiutante. 

Peluang pembubaran DPR

Pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil.

Penting untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan Indonesia sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit dengan mengacu pada Dekrit 1959, tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan secara legal maupun secara politis.

Secara legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang keadaan bahaya yang sempat diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan ini juga ternyata tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk membubarkan DPR.

Sedangkan secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai tindakan inkonstitusional dari seorang diktator daripada suatu revolusi. Kondisi politik yang dapat melegitimasi tindakan itu adalah adanya keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.

Reaksi langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan pembangkangan, yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada SI dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan sejak dikirimkannya memorandum pertama,  implikasi politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara MPR dan Presiden.

Tags: