Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan
Kolom

Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan

Berbagai peristiwa dan kondisi ini perlu menjadi fokus untuk kembali memikirkan alternatif pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Bacaan 6 Menit

Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan

Salah satu akar masalah dari pembebanan kapasitas di Rutan dan Lapas dipengaruhi faktor besarnya angka komulatif tahanan dan narapidana khususnya terkait tindak pidana narkotika yang diperkirakan lebih dari 50%. Meskipun telah ada regulasi Pasal 54 dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Rehabilitasi medis yakni terkait pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sedangkan rehabilitasi sosial terkait pemulihan sosial dan mental pecandu narkoba.

Meskipun demikian, hendaknya berbagai peristiwa dan kondisi ini perlu menjadi pencermatan kita semua untuk kembali memikirkan alternatif pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia – tidak hanya untuk tindak pidana narkotika semata.

Dalam konteks pembaruan sistem pemidanaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menerbitkan Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000). Demikian halnya dalam The Vienna Declaration on Crime and Justice: Meeting the Challenges of the Twenty-first Century (2000) menekankan pentingnya pengembangan kebijakan, prosedur dan program keadilan restoratif yang menghormati hak, kebutuhan dan kepentingan korban, pelaku, masyarakat dan semuanya.

Oleh karena itu, merujuk pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang melakukan perubahan dan penambahan mengenai jenis pemidanaan yang beberapa di antaranya dalam pidana pokok selain pidana penjara juga mengatur adanya pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.

Dengan semakin beragamnya jenis pemidanaan ini, maka akan memberikan keleluasaan kepada Pengadilan (Hakim) untuk memutus perkara dengan menggali kebenaran secara materiil dari tindak pidana yang dilakukan, termasuk pemaafan (judisial pardon). Putusan ini juga sekaligus memproyeksikan hukuman yang dinilai layak dan adil bagi pelaku, tidak sekadar pidana penjara semata.

Memulai langkah pembaruan sistem pemidanaan melalui RKUHP tersebut juga merupakan bagian integrasi dengan tiga sasaran setrategis dalam bidang hukum dalam RPJMN 2020-2024. Secara efektif menjadi bagian dari pembentukan regulasi (hukum) yang berkualitas, terselenggaranya sistem peradilan yang efektif, transparan dan akuntabel, serta tujuan ketiga adalah terciptanya keadilan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, kita perlu mendorong agar momentum ini tidak hanya sekadar menjadi monumen keprihatinan kita semata, akan tetapi harus dikapitalisasi menjadi energi untuk melakukan pembaruan sistem pemidanaan dan reformasi hukum di Indonesia. Sekali lagi, pentingnya percepatan pembahasan ini sejalan dengan upaya reformasi kebijakan yang digagas oleh Pemerintah untuk mengurangi laju pemenjaraan terhadap setiap tindak pidana.

*)Agus Suntoro, SH, MH, merupakan Peneliti pada Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI. Sebelumnya adalah investigator terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Komnas HAM RI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait