Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan
Kolom

Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan

Berbagai peristiwa dan kondisi ini perlu menjadi fokus untuk kembali memikirkan alternatif pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Bacaan 6 Menit
Agus Suntoro. Foto: Istimewa
Agus Suntoro. Foto: Istimewa

Reformasi kebijakan Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pemberian asimilasi terhadap para narapidana untuk menghindari penyebaran Covid-19 dan sekaligus terobosan dalam menurunkan tingkat keterhuniaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) mendapat apresiasi positif oleh publik. Bahkan, program asimilasi tersebut pada 2020 dinikmati oleh 57.000 penghuni yang berintegrasi kembali dengan masyarakat.

Upaya perbaikan yang populis tersebut harus berhadapan dengan peristiwa memilukan pada 8 September 2021 yakni terbakarnya Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Kebakaran mengakibatkan jatuhnya 48 korban jiwa di lapas yang dihuni 2.072 orang untuk kapasitas 600 orang atau lebih dari 400 persen tersebut. Situasi yang sangat tidak ideal bagi para penghuni sekaligus juga mencerminkan kerentanan baik aspek keamanan maupun kesehatan bagi para penghuni lapas.

Merujuk pada data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) secara keseluruhan jumlah penghuni di 526 Lapas dan Rutan (per 9 September 2021) berjumlah 270,752 orang. Dari angka tersebut, Ditjenpas mengkonfirmasi kelebihan kapasitas huni hingga 131,077 persen. Kondisi overkapasitas akan menimbulkan terjadinya berbagai kasus tindak pidana yang melibatkan para narapidana, seperti kasus perkelahian serta kasus tindak pidana lainnya. Overkapasitas juga mengakibatkan menurunnya pelayanan dan perawatan, rentan gangguan keamanan dan ketertiban, melemahnya rentang kendali dan pengawasan.

Diskursus terhadap kapasitas yang berlebih bukan kali ini saja akan tetapi berlangsung dari tahun ke tahun yang belum ada upaya signifikan dalam menurunkannya. Secara formal dalam dokumen Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015 – 2019 Bagian Agenda Pembangunan Nasional berkaitan dengan program Memperkuat Kehadiran Negara Dalam Melakukan Reformasi Sistem Dan Penegakan Hukum Yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya melalui Peningkatan Penegakan Hukum dalam sasaran kebijakan strateginya adalah penguatan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (PPN/Bappenas, 2014).

Demikian halnya Kementerian Hukum dan HAM telah memiliki Cetak Biru dalam Rencana Induk Pembangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor: M.HH-07.OT.01.03 Tahun 2011. Prioritas pertama adalah membangun lapas di 8 wilayah yang overkapsitasnya melebihi 75% seperti Sumatera Utara (128%); Kepulauan Riau (86%); Riau (202%); Jambi (115%); Bengkulu (78%); DKI Jakarta (116%); Jawa Barat (95%) dan Kalimantan Timur (132%).

Mandela Rules

Untuk menjamin pemenuhan hak bagi narapidana dan tahanan secara khusus Indonesia memiliki instrumen hukum sebagai pedoman yakni UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Melalui ketentuan Pasal 14 telah mengatur berbagai hak yang wajib dipenuhi bagi narapidana dan tahanan. Secara garis besar hak tersebut meliputi hak yang berkaitan dengan kebutuhan hidup (makan, air dan kesehatan), serta hak untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat. Akan tetapi dari ragam hak tersebut tidak secara eksplisit menjamin hak untuk hidup atau keamanan terhadap narapidana dan tahanan.

Untuk mengatur dan menjadikan pedoman dalam tata kelola serta pembinaan di seluruh sistem pemenjaraan di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan Standar Minimum Rule for The Treatment of Prisoners atau yang dikenal sebagai Mandela Rules. Pengaturan ini merupakan kelanjutan dari Kongres PBB terkait Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Pelaku Kejahatan yang diadakan di Jenewa pada tahun 1955 dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial melalui Resolusi 663 C (XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tertanggal 13 Mei 1977. MandelaRules merupakan standar yang berlaku bagi semua kategori tahanan, pidana maupun perdata, yang masih menunggu persidangan maupun yang sudah divonis, termasuk tahanan yang sedang menjalani langkah pengamanan (security measures) atau langkah perbaikan (corrective measures) yang diperintahkan hakim.

Secara ringkas pembentukan Mandela Rules didasarkan pada kondisi obyektif di berbagai negara yang memiliki kondisi hukum, sosial, ekonomi, dan geografi yang berbeda, akan tetapi perlu dibentuk regulasi yang jelas agar seluruh aturan minimum standar ini dapat diterapkan di setiap tempat dan di setiap waktu. Prinsip dasar dalam Mandela Rules adalah aturan-aturan yang disusun bersifat imparsial (tidak memihak), pelarangan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain, kebangsaan atau golongan sosial, kekayaan, keturunan atau status lain. Demikian halnya keyakinan agama dan aturan moral dari kelompok yang menjadi kelompok asal si tahanan perlu dihormati.

Secara garis besar narapidana ataupun tahanan memiliki berbagai hak yang dimulai sejak proses registrasi. Kemudian penting adanya pemisahan berdasarkan kategori kejahatan/tindak pidana, diadili terpisah dengan yang sudah divonis; jenis kelamin dan usia. Dalam aspek kebutuhan pribadi berupa akomodasi berupa sel, bangsal, tempat tidur, udara, pencahayaan dan instalasi sanitasi dan mandi, serta higine meliputi kebersihan pribadi, kebutuhan tiolet dan kebutuhan khusus baik laki-laki dan perempuan. Bahkan regulasi menetapkan mengenai pakaian dan perlengkapan tidur yang harus nyaman disesuaikan dengan musim/iklim, serta standar lokal dan nasional yang memadai dan layak. Jaminan terhadap kualitas dan kuantitas makanan bergizi yang menjamin mutu dan kesehatan, serta tersedianya air minum juga menjadi hak dasar, bersama dengan hak untuk gerak badan dan olahraga. Dalam aspek pelayanan medis harus tersedia dan perawatan intensif jika diperlukan.

Mandela Rules juga mengingatkan kepada negara-negara yang menjunjung tinggi keadaban dengan melarang tindakan disiplin dan hukuman badan, hukuman sel gelap, hukuman kejam tidak manusiawi, merendahkan martabat. Selain itu secara tegas penggunaan alat kekang seperti borgol, rantai, besi pemberat, dan jaket lurus sama sekali dilarang.

Selain berbagai macam standar minimum yang harus diberikan kepada para tahanan dan nara pidana, beberapa ketentuan dalam Mandela Rules juga memberikan jaminan kepada para penghuni untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan dunia luar baik melalui korespondensi atau menerima kunjungan. Selain itu diberikan kesempatan untuk membaca dan mengembakan diri, serta dalam aspek privat menjalankan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Untuk menjamin akuntabilitas disediakan ruang atau mekanisme pengaduan.

Mengharapkan idealitas sebagaimana ditetapkan PBB dalam Mandela Rules merupakan jalan panjang di Indonesia. Secara formal baik RPJMN, Cetak Biru dan berbagai keputusan politik – termasuk upaya melibatkan swasta sebagaimana diinisiasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan menggelar market sounding untuk menawarkan proyek pembangunan di Ciangir, Tangerang, serta pemanfaatan lahan eks Rutan/Lapas Salemba senilai Rp1,2 triliun belum juga sepenuhnya berhasil.

Di satu sisi ancaman terhadap hak hidup dalam Lapas dan Rutan di Indonesia ternyata tidak saja berkorelasi dengan impelmentasi pemenuhan hak-hak mereka. Akan tetapi dari peristiwa besar yang terjadi justru dipicu faktor sarana-prasarana karena terbakar. Masih lekat dalam ingkatan kita pada Juni 2013 kebakaran di Lapas Tanjung Gusta, Medan mengakibatkan 5 (lima) korban tewas yakni sipir, juru masak dan tahanan. Demikian halnya pada Maret 2016, kebakaran di Rutan Bengkulu menyebabkan 5 (lima) orang narapidana tewas, mereka tidak bisa dievakuasi karena selnya terkunci. Sedangkan kebakaran pada Januari 2017 di LP Banda Aceh tidak menimbulkan korban jiwa.

Meskipun demikian tidak semua kebakaran disebabkan instalasi sarana-prasarana. Dalam peristiwa kebakaran di Lapas Klas IIA Jambi pada Maret 2017 diduga dipicu para penghuni dengan cara merusak dan membakar blok sehingga menimbulkan korban luka 6 (enam) orang sipir dan 6 (enam) petugas Kepolisian. Sedangkan di Sigi, Sulawesi Tengah terjadi kebakaran di 6 (enam) kamar sel yang menyebabkan 45 (empat puluh) lima narapidana melarikan diri.

Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan

Salah satu akar masalah dari pembebanan kapasitas di Rutan dan Lapas dipengaruhi faktor besarnya angka komulatif tahanan dan narapidana khususnya terkait tindak pidana narkotika yang diperkirakan lebih dari 50%. Meskipun telah ada regulasi Pasal 54 dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Rehabilitasi medis yakni terkait pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sedangkan rehabilitasi sosial terkait pemulihan sosial dan mental pecandu narkoba.

Meskipun demikian, hendaknya berbagai peristiwa dan kondisi ini perlu menjadi pencermatan kita semua untuk kembali memikirkan alternatif pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia – tidak hanya untuk tindak pidana narkotika semata.

Dalam konteks pembaruan sistem pemidanaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menerbitkan Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000). Demikian halnya dalam The Vienna Declaration on Crime and Justice: Meeting the Challenges of the Twenty-first Century (2000) menekankan pentingnya pengembangan kebijakan, prosedur dan program keadilan restoratif yang menghormati hak, kebutuhan dan kepentingan korban, pelaku, masyarakat dan semuanya.

Oleh karena itu, merujuk pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang melakukan perubahan dan penambahan mengenai jenis pemidanaan yang beberapa di antaranya dalam pidana pokok selain pidana penjara juga mengatur adanya pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.

Dengan semakin beragamnya jenis pemidanaan ini, maka akan memberikan keleluasaan kepada Pengadilan (Hakim) untuk memutus perkara dengan menggali kebenaran secara materiil dari tindak pidana yang dilakukan, termasuk pemaafan (judisial pardon). Putusan ini juga sekaligus memproyeksikan hukuman yang dinilai layak dan adil bagi pelaku, tidak sekadar pidana penjara semata.

Memulai langkah pembaruan sistem pemidanaan melalui RKUHP tersebut juga merupakan bagian integrasi dengan tiga sasaran setrategis dalam bidang hukum dalam RPJMN 2020-2024. Secara efektif menjadi bagian dari pembentukan regulasi (hukum) yang berkualitas, terselenggaranya sistem peradilan yang efektif, transparan dan akuntabel, serta tujuan ketiga adalah terciptanya keadilan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, kita perlu mendorong agar momentum ini tidak hanya sekadar menjadi monumen keprihatinan kita semata, akan tetapi harus dikapitalisasi menjadi energi untuk melakukan pembaruan sistem pemidanaan dan reformasi hukum di Indonesia. Sekali lagi, pentingnya percepatan pembahasan ini sejalan dengan upaya reformasi kebijakan yang digagas oleh Pemerintah untuk mengurangi laju pemenjaraan terhadap setiap tindak pidana.

*)Agus Suntoro, SH, MH, merupakan Peneliti pada Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI. Sebelumnya adalah investigator terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Komnas HAM RI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait