Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kolom

Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat dan ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan.

Bacaan 2 Menit
Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Hukumonline

Perda Propinsi Sumatera Barat No 2/2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari (kemudian disebut Perda Nagari) dan Perda Provinsi Sumatera Barat No 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (kemudian disebut Perda Tanah Ulayat) adalah dua kebijakan pasca Orde Baru yang mencoba meletakkan dasar-dasar pengakuan hak masyarakat adat (nagari) dalam pengelolaan sumber daya alam di Sumatera Barat. Dua perda ini mempertegas kembali nagari sebagai subjek hak ulayat, dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat dan hak ulayat sebagai hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut. Upaya pengakuan hak nagari dalam dua kebijakan ini kemudian berdinamika dengan sistem hukum nasional, yaitu rezim pengaturan otonomi daerah, rezim pengaturan sumber daya alam, dan rezim pengaturan peradilan serta kondisi sosiologis masyarakat adat.

 

Perda Nagari menyebutkan dua fungsi nagari, yaitu sebagai satuan pemerintahan administratif (terendah) dan kesatuan masyarakat adat. Artinya, nagari melekat dua identitas, yaitu sebagai satuan administratif pemerintahan terendah sekaligus nagari sebagai kesatuan masyarakat adat. Upaya mengintegrasikan nagari atas fungsi administratif dan fungsi adat dalam Perda Nagari adalah semangat utama mengembalikan nagari setelah dipecah-pecah sistem pemerintahan desa atau dikenal dengan semangat “kambali Ka Nagari.”

 

Perda Nagari memang dapat menstimulus penyatuan desa-desa ke nagari, namun di sisi lain, belum mampu melebur sistem adat yang berbasis Ninik Mamak dengan sistem pemerintahan modern (Pemerintah Nagari). Hal tersebut melahirkan tumpang tindih pengurusan sumber daya alam di nagari.

 

Realitas Pengelolaan Sumber Daya Alam

Maraknya konflik-konflik hak ulayat adalah realitas pengelolaan sumber daya alam di Sumatera Barat. konflik-konflik tersebut umumnya bernuansa vertikal antara masyarakat adat dengan negara dan atau pemilik modal. Konflik ini paling banyak pada sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan. konflik di sektor perkebunan marak pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit skala besar, terutama di wilayah daratan rendah seperti Kabupaten Pasaman barat, Dhamasraya, Pesisir Selatan, Agam dan Solok Selatan.

 

Konflik ini muncul akibat pemerintah dan penguasa “memplintir” perjanjian siliah jariah yang konversi hak ulayat ke tanah negara dengan penetapan Hak Guna Usaha (HGU). Hal serupa juga terjadi pada sektor pertambangan, yaitu perjanjian siliah jariah mengubah status tanah ulayat menjadi tanah negara melalui penetapan kuasa pertambangan dan izin-izin pertambangan skala kecil. Pada sektor kehutanan, konflik muncul akibat penetapan sepihak kawasan hutan dan kemudian dibebankan HPH-HPH kepada perusahaan-perusahaan. Konflik HPH PT AMT dengan nagari-nagari di Solok Selatan adalah salah satu contohnya. Penetapan kawasan hutan produksi secara sepihak dan pemberian konsesi HPH kepada PT AMT dilakukan di luar kendali masyarakat adat.

 

Masyarakat adat pada konflik-konflik di atas umumnya menuntut pengembalian tanah-tanah ulayat mereka pasca pemanfaatan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Selain pengembalian tanah, masyarakat adat juga menuntut bagi hasil pemanfaatan tanah-tanah  yang sedang dikelola oleh perusahaan-perusahaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa konflik vertikal seputar tanah ulayat berupa konflik penguasaan dan konflik pengelolaan dan pemanfaatan. Negosiasi-negosiasi terus dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan, ada yang berhasil ada yang gagal. Keberhasilan negosiasi itu biasanya melingkupi persoalan bagi hasil (pemanfaatan) berupa pemberian-pemberian insentif-insentif kepada masyarakat adat Nagari Lubuk Kilangan dari PT Semen Padang, nagari-nagari selingkat HPH AMT dan lain-lain. Di sisi lain, terdapat juga kisah  kegagalan masyarakat adat dalam menuntut hak-haknya seperti kasus masyarakat adat Nagari Tiku Kabupaten Agam dengan PT Minang Agro, kasus PT Anam Koto, kasus ulayat imbang langik di Pasaman Barat yang dipatahkan kekuatan masyarakat adat dengan cara kriminalisasi terhadap tokoh-tokohnya.

 

Upaya Pemulihan dan Pengakuan Hak Nagari

Sebenarnya, Perda Tanah Ulayat telah mengatur mekanisme-mekanisme pemanfaatan tanah ulayat yang terdiri dari tiga mekanisme. Pertama, pemanfaatan oleh anggota masyarakat adat (nagari) melalui mekanisme internal nagari berdasarkan hukum adat yang berlaku pada masing-masing nagari tersebut. Kedua, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum yang mengacu pada Perpres No 36/2005 yang diperbarui dengan Perpres No 65/2005. Ketiga, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak ketiga (investasi) melalui mekanisme perjanjian kerjasama atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan disarankan dalam bentuk bagi hasil dan penyertaan modal (tanah ulayat dianggap sebagai bagian dari modal (saham) perusahaan). Perda ini juga menyebutkan bahwa, pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan untuk investasi akan dikembalikan “kebentuk semula”. Bentuk semula menjadi biasmakna bagi tanah-tanah yang dibebankan HGU, apakah kembali ke bentuk tanah negara berdasarkan UUPA atau tanah ulayat berdasarkan perjanjian kesepakatan “silih jariah.”

Tags: