Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kolom

Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat dan ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan.

Bacaan 2 Menit

 

Klausul “kembali ke bentuk semula” pada tanah-tanah bekas investasi menujukkan upaya memulihkan hak ulayat pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan sebelum Perda ini lahir. Walaupun multitafsir, klausul ini dapat menjadi alat pemulihan hak ulayat apabila dijelaskan secara konkrit pada perda-perda di tingkat kabupaten/kota. Perda-perda di tingkat kabupaten atau kota mempunyai daya operasional yang kuat untuk pemulihan hak ulayat paska pemanfaatan untuk investasi tesebut. 

 

Selain itu, Perda Tanah Ulayat juga mengatur mekanisme penyelesaian konflik, yaitu konflik internal dalam nagari dan antar nagari. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme adat. Itu berarti Perda TUP hanya mengatur konflik yang bersifat horizontal sedangkan vertikal tidak diatur. Hal itu berkonsekuensi pada upaya penyelesaian konflik bersifat horizontal merupakan tanggung jawab pemerintah daerah melalui perangkat-perangkatnya, sedangkan konflik vertikal secara eksplisit diserahkan kepada peradilan formal (Pengadilan Negeri). Penyelesaian konflik melalui peradilan tidak banyak menguntungkan masyarakat adat karena sifat pembuktian yang formalistis di pengadilan, sedangkan kasus-kasus vertikal terutama pada kasus-kasus perkebunan berstatus HGU mempunyai karakter yang unik dan tidak cukup dengan hanya pada pembuktian formil. Oleh sebab itu, pilihan-pilihan penyelesaian konflik banyak menggunakan cara negosiasi dan mediasi antara masyarakat adat dengan perusahaan karena alasan fleksibelitas dan pendekatan win-win solution, baik itu yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, lawyer ataupun NGO.

 

Pada sisi lain, konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat dan ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan. Walaupun Perda Nagari dan Perda Tanah Ulayat menyebutkan pengakuan hutan adat (hutan yang berada di tanah ulayat) namun tentunya menjadi persoalan bila berhadapan dengan UUK yang mensyaratkan pengakuan terlebih dahulu masyarakat adat melalui Perda yang mekanisme pengakuan tersebut sedang digodok dalam PP Pengukuhan Hutan Adat. Artinya hutan adat diakui oleh UUK apabila telah diatur dalam PP dan kemudian disahkan (dikukuhkan) masyarakat hukum adat itu dalam Perda.

 

Apakah Perda Tanah Ulayat dan Perda Nagari bisa dianggap sebagai bentuk pengukuhan masyarakat adat ? ‘hal itu menjadi perdebatan serius di Sumatera Barat.’ Secara praktis, Kementerian Kehutanan, dinas kehutanan dan lembaga-lembaga vertikal kehutanan menganggap bahwa Perda Nagari dan Perda Tanah Ulayat mengatur hak ulayat di luar kawasan hutan. Artinya  bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat Nagari terhadap kawasan hutan mesti melalui skema-skema pemanfaatan dalam kebijakan kehutanan, seperti Hkm, hutan desa dan lain-lain. Ekspresi penguatan penguasaan Kementerian Kehutanan terhadap kawasan hutan terlihat dari kriminalisasi masyarakat Nagari yang mengelola lahan di kawasan hutan, baik itu untuk membuka lahan pertanian, agroforestry maupun pemanfaatan kayu. Misalnya, kasus kriminalisasi beberapa orang anggota masyarakat  nagari Ampiak Parak Kabupaten Pesisir Selatan yang membuka lahan pertanian berdasarkan surat izin pemangku adat (surat pelacoan) di kawasan TNKS.

 

Akhirnya, nasib pengakuan hak nagari dalam pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat di pengaruhi oleh tiga hal. Pertama, pengakuan masyarakat adat melalui proses legislasi (Perda Nagari dan Perda Tanah Ulayat) yang berada pada kutub rezim pengaturan Pemerintah Daerah yang mencoba melindungi pemanfaatan tanah untuk investasi dengan mengakui hak ulayat dan mekanisme pemanfaatannya. Pengakuan ini masih mempunyai kelemahan bagi tanah-tanah yang telah dibebankan HGU dan kawasan hutan karena kebijakan ini vis a vis dengan rezim pengaturan sumber daya alam yang sentralistik, baik itu pengaturan HGU dalam UUPA dan kawasan hutan dalam UUK.

 

Kedua, dinamika pengakuan hak masyarakat adat melalui proses administratif, yaitu proses-proses administrasi pemanfaatan tanah yang tidak transparan dan tanggung gugat, seperti penetapan kawasan hutan dan penetapan HGU dan HPH (IUPPHK) yang berdampak pada pengabaian hak ulayat. Ketiga, dinamika pengakuan hak ulayat dalam proses judicial yang masih menganut paham formalisme hukum di lembaga peradilan sehingga kasus-kasus yang bersifat vertikal belum menguntungkan terhadap pengakuan hak-hak masyarakat adat, sehingga penyelesaian konflik seperti negosiasi dan mediasi menjadi cara alternatif penyelesaian konflik ini.

 

*Direktur Perkumpulan Qbar, Padang

Tags: