Munir Fuady: Advokat dengan Mimpi Seribu Buku
Berita

Munir Fuady: Advokat dengan Mimpi Seribu Buku

“Kalaupun saya berhasil, saya bilang saya hanya berani melawan arus, istilahnya sekarang berani tampil beda”.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Sejak itu saya harus punya rasa percaya diri untuk mengarang buku karena mengarang buku itu kan orang harus percaya ke kita. Makanya di awal-awal buku saya, saya katakan saya bukan alumni dari sebuah universitas besar. Awalnya saya bergerak dari daerah dan naik sedikit-sedikit ke atas. Jadi pas saya S2 saya anggap ilmu dan pengalaman saya sudah cukup maka saya mulai mengarang buku.

 

Cerita menarik, saat nulis buku saya yang pertama, judulnya hukum bisnis dan itu dikritik oleh banyak profesor, termasuk pembimbing S2 saya kritik. Bilangnya (1996), tidak ada yang namanya hukum bisnis karena waktu itu UI masih pakai istilah Hukum Ekonomi dan UGM masih pakai istilah Hukum Dagang, Unpad Hukum Ekonomi juga ada Ibu Sunaryati di situ.

 

(Baca Juga: Bambang Rantam Sariwanto, dari Gotong Kursi Menuju Prestasi di Kursi Sekjen Kemenkumham)

 

Saya ditanya, ‘dari mana anda dapat ide ini?’. Saya gak jawab karena itu profesor-profesor. Hanya saja, waktu saya sudah kuliah di Amerika, saya lihat semua orang di situ pakai istilah business law, artinya hukum bisnis, kalau hukum dagang kan trade law dan itu enggak popular. Karena banyaknya protes sampai penerbit saat itu ditelepon sama banyak profesor, akhirnya saya diminta sama penerbit untuk keluarkan cetakan kedua yang menceritakan dulu di bab pertamanya soal ‘apa itu hukum bisnis’.

 

Itulah sejarahnya kenapa buku saya yang hukum bisnis antara cetakan pertama dan keduanya beda. Tapi itu dulu, nah sekarang, hampir semua jurusan S2 yang bidang hukum dagang namanya hukum bisnis, ke Gramedia sekarang berderet-deret hukum bisnis sudah.

 

Di tengah kesibukan sebagai advokat, bagaimana Anda menyempatkan waktu untuk menulis buku?

Sangat banyak orang tanya itu ke saya, tapi terus terang saya sendiri gak bisa jawab itu, saya sendiri gak tahu kapan saya menulis. Kalau dihitung secara matematis, itu gak ada waktu menulis, kita sebagai advokat juga banyak kerjaan, kemudian kurator, kemudian saya juga mengajar di beberapa universitas.

 

Kalau dihitung secara matematis, 24 jam sehari itu sudah gak kebagi, tapi yang penting kita punya kemauan. Kalau ada kemauan kan ada waktu sedikit kita pergunakan. Mungkin malam sebelum tidur ada waktu satu jam atau setengah jam, dapatlah. Jadi saya tidak punya waktu khusus untuk mengarang. Kalau saya punya waktu khusus untuk mengarang atau kerjaan saya cuma mengarang saya akan bahagia sekali. Tapi kan nyatanya waktu kita terbatas karena itu kita harus pergunakan sebaik-baiknya.

 

(Baca Juga: Simon Butt: Seharusnya Lebih Banyak Perempuan Menjadi Hakim MK)

 

Karena kalau orang itu sukses sudah pasti sibuk, gak ada waktu mengarang. Orang yang kurang sukses ada banyak waktu, dia mengarang, kualitasnya kurang. Jadi harus kita kombinasikan, saya sibuk tapi saya harus ada waktu. Tapi tak menentu entah siang, malam atau pagi, bisa dalam bus, bisa dalam mobil, bisa di mana saja.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait