Mengkritik Presiden: Antara Kebebasaan Pendapat dan Batasan Etika
Kolom

Mengkritik Presiden: Antara Kebebasaan Pendapat dan Batasan Etika

Pasal-pasal tentang penghinaan terhadap Presiden memang sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tapi bukan berarti siapa pun boleh menyampaikan dan mengekspresikan pikirannya tanpa memperhatikan norma dan etika.

Bacaan 4 Menit
Frans Hendra Winarta (kiri) dan  Alwi Hafizh Al-Mumtaz (kanan). Foto: Istimewa
Frans Hendra Winarta (kiri) dan Alwi Hafizh Al-Mumtaz (kanan). Foto: Istimewa

Sebagai negara demokratis yang besar, kritik dan perdebatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan politik Indonesia. Keduanya adalah bagian dari kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat yang juga salah satu pilar pengawal jalannya pemerintahan. Kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat ini pun adalah salah satu dari Hak Asasi Manusia. Warga negara bebas untuk mengungkapkan pikiran, pendapat, atau pandangan tanpa diliputi oleh rasa takut. Hak ini dijamin di dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Dalam konteks demokrasi, kritik juga dapat menjadi alat untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan demi tercapainya good governance (algemene beginselen van behoorlijke bestuur). Dengan kata lain, kritik adalah salah satu mekanisme penting yang memungkinkan masyarakat untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja dan kebijakan pemerintah, termasuk di dalamnya Presiden. Ingat, Presiden sebagai pemimpin Republik Indonesia dipilih oleh rakyat secara demokratis.

Sejak beberapa tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terjadi banyak pergolakan politik dengan perdebatan dan kritik yang semakin intens. Para aktivis dan tokoh politik sering menarik perhatian masyarakat. Rocky Gerung, salah seorang aktivis yang dikenal luas, kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial di dalam kritiknya. Tidak hanya Rocky, seorang seniman kenamaan Butet Kartaredjasa juga telah dianggap menghina Presiden melalui pantunnya. Pernyataan keduanya mengundang gejolak masyarakat karena diduga sebagai bentuk penghinaan dan fitnah terhadap Presiden.

Baca juga:

Kritik terhadap pemerintah dengan maksud konstruktif tentu dapat memperkaya debat politik dan mendorong ke arah pembangunan yang lebih baik. Kritik argumentatif—berdasarkan fakta dan penilaian yang relevan—akan memungkinkan diskusi yang lebih mendalam dan konstruktif tentang kebijakan pemerintahan. Kritik dengan karakteristik ini memberikan masukankepada orang yang dikritik tentang bagian yang dirasa salah dan dapat diperbaiki. Di dalam negara demokratis, pemerintah yang terbuka dan responsif terhadap kritik yang dari rakyatnya dapat membantu untuk memahami permasalahan dan meningkatkan kebijakannya.

Namun, permasalahan akan muncul saat kritik yang disampaikan telah melebihi batas etika dan malah berujung pada penghinaan. Penghinaan terhadap pemimpin—atau di dalam bahasa Belanda disebut dengan Hatzaai Artikelen—merupakan suatu pelecehan terhadap institusi negara dan merugikan integritas dari individu. Hatzaai Artikelen dapat diartikan sebagai hate speech dalam bahasa Inggris atau ujaran kebencian di dalam bahasa Indonesia.

Hatzaai Artikelen adalah pasal-pasal terhadap penghinaan kepada pemerintah pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Ketentuan penghinaan terhadap Presiden ini terdapat pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, pasal-pasal tersebut sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal ini dianggap mengurangi kebebasan dalam mengekspresikan pikiran dan pendapat, serta mengurangi kepastian hukum dalam prinsip persamaan di depan hukum.

Tags:

Berita Terkait