Mengevaluasi Putusan Penolakan MK Soal Uji Formil dan Meteriil UU Minerba
Terbaru

Mengevaluasi Putusan Penolakan MK Soal Uji Formil dan Meteriil UU Minerba

Putusan MK perlu diapresiasi, namun terdapat beberapa catatan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 8 Menit

“Argumentasi lain yang dikemukakan adalah terkait ketentuan RUU carry over. Menurut MK sepanjang bukti-bukti yang disampaikan dan fakta yang terungkap di persidangan adalah benar telah terjadi kesepakatan menjadikan RUU Minerba sebagai RUU carry over kepada DPR Periode 2019-2024. Artinya, salah satu persyaratan untuk RUU carry over telah dipenuhi. Namun demikian, persyaratan “pembahasan DIM” belum benar-benar terjadi. Selain itu juga bahwa dua persyaratan yang berlaku secara kumulatif yang dapat membenarkan RUU Minerba sebagai RUU carry over tidak terpenuhi,” ungkap Akmaluddin.

Oleh sebab itu, menurut ketiga hakim tersebut, berdasarkan pertimbangan hukum itu, tidak ada keraguan bagi kami untuk menyatakan pembentukan UU 3/2020 adalah cacat secara formil. Berdasarkan pertimbangan hukum dan argumentasi tersebut, seharusnya MK mengabulkan permohonan pengujian formil para pemohon dan menyatakan UU 3/2020 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Terkait dengan uji materiil UU Minerba, pada pokoknya dalam perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020, para pemohon mempermasalahkan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Terkait dengan permohonan tersebut, majelis hakim MK berpandangan bahwa ketentuan yang membenarkan terhadap “diberikan jaminan perpanjangan” menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, dimaknai terhadap badan usaha yang melakukan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK. Padahal, sesungguhnya KK maupun PKP2B adalah hubungan hukum yang bersifat privat yang sebenarnya harus sudah selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir.

Seterusnya, MK menyatakan bahwa oleh karena tidak ada lagi hubungan hukum antara pemerintah dengan badan usaha swasta yang terdapat dalam KK maupun PKP2B untuk diberikan prioritas berupa jaminan perpanjangan menjadi IUPK sekalipun memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 169 A ayat (1) UU 3/2020. Sehingga, dengan demikian Pemerintah seharusnya mulai melakukan penataan kembali dengan mengejawantahkan penguasaan negara terhadap sumber daya alam, khususnya dalam pemberian izin, untuk mulai dilakukan penertiban dengan skala prioritas sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 3/2020.

Menurut MK, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, terlepas dari esensi adanya jaminan terhadap KK dan PKP2B diberikan perpanjangan IUPK setelah memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan karena faktor historis berkenaan dengan sejarah investasi yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pemberian jaminan yang demikian akan menutup dan menjauhkan implementasi penguasaan sumber daya alam oleh negara. Di samping pertimbangan hukum tersebut jaminan pemberian IUPK tersebut juga menutup peluang badan usaha dalam negeri berperan memajukan perekonomian sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 UUD 1945.

Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian terhadap frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 bertentangan dengan semangat penguasaan oleh negara dan memberikan peluang kepada badan usaha dalam negeri sebagaimana diamanatkan oleh UU 3 Tahun 2020.

Tags:

Berita Terkait