Mencermati Problematika Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi
Catahu PSHK 2021

Mencermati Problematika Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi

Praktiknya partisipasi publik dalam proses legislasi sangat terbatas. Dalam beberapa kasus pembentukan UU, publik sulit mengakses naskah akademik dan RUU. Belum lagi, klaim tentang partisipasi publik bisa dibuat-buat oleh DPR dan pemerintah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Bisa dibuat-buat

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Mudhoffir, menilai partisipasi publik ini harapannya agar UU yang dihasilkan mampu memberikan keadilan dan melindungi hak-hak warga negara serta bisa dijalankan. Tapi konsep ideal itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Bisa saja syarat partisipasi publik terpenuhi, tapi ternyata UU yang diterbitkan pelaksanaannya kurang baik.

“Oleh karena itu untuk menghasilkan peraturan yang baik butuh lebih dari sekedar syarat formil,” kata Abdil Mughis Mudhoffir dalam kesempatan yang sama.  

Abdil menilai partisipasi publik bisa dimanipulasi, misalnya DPR mengklaim telah melibatkan partisipasi publik dalam proses legislasi. Tapi, apakah partisipasi publik yang diklaim itu benar-benar mewakili kepentingan publik yang beragam? Misalnya, kalangan buruh diklaim sudah dilibatkan membahas UU Cipta Kerja, tapi apakah benar itu merepresentasikan kepentingan buruh secara keseluruhan?

“Klaim tentang partisipasi publik bisa dibuat-buat, maka proses legislasi bisa dimanipulasi kelompok dominan atau yang menguasai di DPR (dan pemerintah, red). Saat revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja itu diklaim DPR sudah melibatkan partisipasi publik,” ungkap Abdil.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Lailani Sungkar, menjelaskan tentang partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation. Beberapa elemen penting yang ada dalam konsep partisipasi publik yakni integritas dan akuntabilitas.

Hal tersebut dapat dilihat dari sisi waktu, misalnya pemerintah mengklaim sudah melibatkan partisipasi publik. Tapi akses untuk mendapatkan informasi itu harus mudah dan jelas serta diberikan waktu yang cukup untuk memahaminya. “Harus ada dialog yang adil dan inklusif. Pihak yang dilibatkan juga harus tepat.”

Lailani menjelaskan ada 3 derajat partisipasi. Pertama, derajat terbawah yakni non participation yang sifatnya satu arah dari pemerintah tanpa ada respons balik. Kedua, derajat menengah (tokenism) dimana publik diminta pendapatnya setelah peraturan terbit dan tidak jelas bagaimana tindak lanjut dari masukan publik tersebut. Ketiga, derajat tertinggi yakni citizen power dimana publik dilibatkan serta ada tindak lanjutnya.

Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi, mengatakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjamin adanya partisipasi publik. Pandemi Covid-19 membuat terkendalanya pelaksanaan partisipasi publik dalam proses legislasi karena pertemuan fisik sangat dibatasi. Saat ini forum bagi publik untuk menyampaikan masukannya bisa dilakukan secara daring dan luring.

“Tidak ada niatan DPR untuk menghilangkan atau mengurangi partisipasi publik dalam proses legislasi. Karena itu sudah perintah UU dan diatur dalam Tatib DPR,” katanya.

Tags:

Berita Terkait