Pemerintah Diminta Konsisten Jalankan Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Profil

Pemerintah Diminta Konsisten Jalankan Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Pembentuk UU harus melakukan pembuatan kembali UU Cipta Kerja sedari awal.

Oleh:
CR-28
Bacaan 2 Menit
Dosen FH USU Agusmidah dalam Hukumonline Academy #15 pada Live Instagram Hukumonline bertajuk 'Nasib Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja', Senin (13/12/2021). Foto: CR-28
Dosen FH USU Agusmidah dalam Hukumonline Academy #15 pada Live Instagram Hukumonline bertajuk 'Nasib Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja', Senin (13/12/2021). Foto: CR-28

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji formil Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus menjadi perhatian publik. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak dilakukan perbaikan dalam waktu maksimal 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Artinya, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya masih dianggap berlaku hingga dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun. Dalam tenggang waktu 2 tahun itu pula menangguhkan segala tindakan/kebijakan Pemerintah yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja.

"Saya melihat begini, pemerintah harus konsisten menerapkan Putusan MK No.91 Tahun 2020 ini, terutama proses pembentukan UU Cipta Kerja agar dapat sah secara formil,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Agusmidah dalam Hukumonline Academy #15 pada Live Instagram Hukumonline bertajuk “Nasib Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja”, Senin (13/12/2021). (Baca Juga: Pemerintah Mulai Perbaiki UU Cipta Kerja Sesuai Arahan Putusan MK)

Dia menekankan pentingnya formalitas penyusunan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas beberapa hal. Pertama, formalitas prosedur sampai terbentuk sebagai UU. Misalnya, adanya Naskah Akademik (NA) yang memuat kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis secara holistik. “Biasanya NA disusun oleh tim khusus yang terdiri atas pakar baik akademisi maupun praktisi,” kata dia.  

Langkah selanjutnya harus ada penyerapan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Hal tersebut harus dilaksanakan sebelum draf UU lahir. Setelah ada naskah akademik dan draf mekanisme partisipasi masyarakat juga harus dilakukan dalam bentuk sosialisasi dengan menghadirkan stakeholder bersama shareholder untuk membaca dan memberikan pandangan yang sesuai dengan mandat Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

"Saya pribadi mengalami pada waktu itu dengan teman-teman Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) diundang oleh Kementerian Perekonomian. Kami hadir dengan harapan untuk bisa mendapat naskah akademiknya, pada tahun 2019 itu seharusnya sudah ada NA-nya bersamaan dengan draf RUU, namun nyatanya tidak,” kata Midah dengan nada kecewa.

Saat itu, rombongan P3HKI hanya disuguhi oleh penayangan PPT yang telah beredar di masyarakat. Di dalamnya memuat urgensi omnibus law, apa saja yang diatur dalam 11 klaster, dan informasi umum lainnya tanpa pemberian NA beserta draf RUU. Karena itu, dia membenarkan dan mendukung pandangan lima hakim konstitusi yang menyatakan belum ada partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU Cipta Kerja.

“Karena selama ini orang yang diundang menghadiri sosialisasi RUU Cipta Kerja tidak diberikan naskah akademik dan draf RUU-nya. Baca di putusan itu, semua saksi menyatakan ada diundang, tapi tidak diberikan NA yang dilengkapi draf RUU-nya.”

Padahal, telah jelas dan tegas tertuang dasarnya dalam Lampiran I UU P3 mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik RUU, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pada lampiran tersebut disebutkan bahwa mengenai sistematika NA harus disertakan lampiran rancangan peraturan perundang-undangan.

“Dapat dipahami meski putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat telah dijatuhkan, sehingga pembentuk UU harus melakukan pembuatan kembali UU Cipta Kerja sedari awal.”

Tags:

Berita Terkait