Menalar Ulang Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, dan Fitnah
Kolom

Menalar Ulang Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, dan Fitnah

Ada kecenderungan sekadar untuk kriminalisasi yang abai pada aspek keteledoran.

Bacaan 6 Menit
Menalar Ulang Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, dan Fitnah
Hukumonline

Mulutmu adalah harimaumu. Begitulah satu nasihat penting dari nenek moyang kita. Kata-kata yang terucap, tersebar, dan (mungkin) didengar dengan tepat—atau sebaliknya justru dipahami keliru—bisa berbalik menerkam penutur. Nasihat ini telah menyatu dengan budaya bertutur di Indonesia. Itu sebabnya hingga sekarang ini—baik di acara resmi maupun akademis—pembicara terbiasa menutup sambutan bahkan pokok materi yang telah disampaikan dengan permintaan maaf. Andai dengan satu atau lain cara, apa pun yang terujar ternyata menyinggung perasaan para pendengar. Disclaimer macam ini kadang terlupa diucapkan penutur saat menggunakan media sosial yang jangkauan pembacanya justru semakin luas dan banyak.

Baca juga:

Sebenarnya secara diam-diam atau terang-terangan masyarakat Indonesia, termasuk akademisi, melakukan self-censorship setidaknya di forum terbuka. Ada kehati-hatian yang dijaga mengingat apa pun yang dikatakan atau ditulis berkemungkinan tidak disukai (dislike). Bisa saja itu menyinggung perasaan atau rasa kehormatan atau harga diri seseorang. Bahkan, bisa juga yang tersinggung adalah institusi negara yang sangat peduli dan peka pada urusan menjaga reputasi. Kehati-hatian dilakukan dengan memilih kata atau kalimat yang lebih halus (soft language). Biasanya cara ini disebut dengan istilah kritik yang membangun. Sejauh mungkin isinya menghindari kemungkinan pembaca/pendengar sakit hati atau tersinggung. Itu sebabnya kritik akademis cenderung disembunyikan di balik kalimat panjang dan kompleks. 

Kecenderungan serupa terlihat dalam tulisan-tulisan akademis-populer di media massa. Tentu para penulis karya akademis (ilmiah atau populer) tidak akan membuka atau menutup tulisan dengan memohon maaf. Toh jarang ditemukan adanya tulisan ilmiah atau nonilmiah, termasuk di bidang hukum atau politik, yang memuat kritik tajam secara langsung. Kemungkinan besar karena norma kesantunan diprioritaskan atau ada kecemasan akan menyinggung harga diri pembaca, entah siapa pun mereka.

Ulasan di bawah ini akan mencermati kebiasaan bertutur kata (lisan atau tulisan) oleh siapa pun di Indonesia dalam sudut pandang hukum. Prosedur hukum untuk memulihkan harga diri dan nama baik dari penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah bisa juga semata-mata demi membalas dendam.

Antara Hak, Delik, dan Budaya

Lumrah, setidaknya di dunia hukum Indonesia, untuk membenturkan kepentingan penegakan hukum pidana tentang penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah dengan jaminan pemenuhan kebebasan berpendapat. Kadang bahkan dibenturkan dengan kebebasan mimbar akademis. Kebebasan berbicara dan/atau berpendapat ini dijamin oleh konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan semestinya juga oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintahan.

Membiarkan manusia berpikir dan berbicara bebas tidak saja benar secara etik tetapi juga bermanfaat dalam jangka panjang. Hal ini karena penyelenggaraan negara butuh pada pemikiran warga biasa, khususnya akademisi yang mampu berpikir mandiri, kritis, dan semoga juga kreatif. Segala pendapat yang dinyatakan berkemungkinan mendobrak kemapanan—bahkan kurang ajar—terhadap tradisi dan norma-norma kesusilaan yang dianggap lazim. Kebebasan itu harus diiringi keberanian untuk mengungkap kebenaran sepahit apa pun. Maka itu pula, he/she who dares not to offend cannot be honest.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait