Menalar Ulang Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, dan Fitnah
Kolom

Menalar Ulang Penghinaan, Pencemaran Nama Baik, dan Fitnah

Ada kecenderungan sekadar untuk kriminalisasi yang abai pada aspek keteledoran.

Bacaan 6 Menit

Pada lain pihak, negara memberikan hak pada mereka yang merasa terhina, tercemar nama baiknya, atau terfitnah, untuk mendayagunakan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Itu semua dalam rangka memulihkan harga diri serta membuktikan ketidakbenaran dari berita yang dianggap fitnah. Namun, apakah benar sesederhana ini? 

Hukum bekerja dalam lingkup budaya tertentu. Ada konsep fear (takut), guilt (salah-dosa), dan shame (malu-kehormatan) dalam tiap budaya. Ketiganya dapat dicermati sebagai perkembangan evolutif dalam beragam kombinasi. Di Indonesia, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa budaya malu yang mendominasi. Ini tampak dalam cara bagaimana peluang yang diberikan hukum pidana digunakan dan disalahgunakan.

Realitas Indonesia

Dunia praktik hukum Indonesia menunjukkan bagaimana—mungkin hanya segelintir—orang-orang yang terbiasa dimuliakan dan pejabat pemerintah—yang merasa telah berkorban begitu banyak untuk memajukan kepentingan umum—begitu mudah tersinggung. Mereka begitu cepat menafsirkan kritik apa pun yang terucap dari rakyat kebanyakan termasuk akademisi sebagai tindak pidana. Kepekaaan tinggi ini tentunya menjadi contoh bagi rakyat kebanyakan. Terlihat bagaimana konflik horizontal di Indonesia juga mudah terpicu ujaran atau sikap tindak yang dirasa menyinggung atau menghina.

Daftar ketentuan pidana yang ada memberi pilihan label perilaku atau ujaran orang lain sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, atau fitnah. Ketentuan pidana favorit tampaknya adalah penghinaan dan pencemaran nama baik. Ini mengesankan pula nilai atau harga tinggi yang diberikan pada nama baik, reputasi atau branding seseorang—atau korporasi—di dalam masyarakat Indonesia. Membuka aib/cela seseorang atau lembaga di depan publik dengan sendirinya dipandang sebagai tindakan tercela.

Konteks demikian membuat fenomena carok (di Madura) atau siri (di Sulawesi Selatan) atau saling tatap mata antara laki-laki yang berujung dengan duel bisa dipahami. Semua itu dapat dipandang sebagai upaya membela dan memulihkan kehormatan atau nama baik, beranjak dari harga diri yang harus dijaga dengan sekuat tenaga.

Satu kasus ekstrim (2016) yang sekarang sudah terlupakan mencerminkan dengan jelas pentingnya kehormatan dan/atau nama baik. Seorang ketua adat di Sulawesi Tengah (2015-2016) merasa berkewajiban menghapus coreng terhadap nama baik dan kehormatan masyarakat hukum adat. Ia melakukannya dengan membunuh pasangan (anggota masyarakat) yang dituduh berzina. 

Masih dengan sudut pandang sama, bisa dipahami praktik menjatuhkan hukuman dalam bentuk pencabutan keanggotaan, pengusiran, atau dalam bahasa lebih halus, di-oknum-kan. Individu dengan perilaku menyimpang adalah oknum yang bukan lagi anggota kelompok. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait