Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism
Potret Kamus Hukum Indonesia

Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism

​​​​​​​Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum progresif.

Moch Dani Pratama Huzaini/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Tidak ada yang salah dari hal ini. Sejak jauh hari, para ilmuan hukum sendiri telah banyak bergelut di ranah perbedaan aliran penafsiran seperti ini. Terkait hal ini, jurnal Perkembangan Pengujian UU di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif) mengurai akar dua kutub pemikiran dalam aliran hukum ini. Rescoe Pound, seorang penganut aliran sosiologis misalnya. Ia melihat hukum sebagai suatu “realitas sosial” dan negara merupakan alat agar kepentingan umum dapat diwujudkan. Menurut Pound, hukum merupakan sarana utama dalam mewujudkan cita-cita pembentukan negara.

 

Senada dengan Pound, Rudolf von Jhering berpendapat bahwa hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal. Sementara bagi Bellefroid hukum bertujuang mengatur ketertiban di masyarakat melalui kekuasaan yang ada di tengah masyarakat itu. Dalam bahasa Bellefroid, Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.

 

Sedangkan menurut aliran realis yang dipelopori oleh Holmes, hukum adalah apa yang diputuskan oleh peradilan. Tegasnya Holmes mengatakan apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang diartikan sebagai hukum. Karl Llewellyn mengungkapkan bahwa apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri. Hal yang sama diungkapkan oleh Salmond bahwa hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan.

 

Kanti melihat, baik pendekatan formalis maupun realis yang digunakan oleh para pihak di sidang MK keduanya sama-sama merupakan alat untuk mewujudkan tujuan dari para pihak tersebut. Di sisi yang berbeda, ada aliran yang secara konsisten memandang hukum sebagai alat untuk menegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, ia memandang bahwa kelompok pemikiran yang selama ini muncul dalam proses dan upaya menafsirkan UU di MK hanya sebatas penamaan terhadap fakta-fakta tentang dasar teori yang digunakan di persidangan MK (naming of reality).

 

Salah satu contoh yang juga terjadi dalam persidangan PHPU Pilpres lalu ketika Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy Omar Sharif Hiariej menyampaikan keterangan ahlinya. Eddy secara tegas menggunakan interpretasi gramatikal dalam menafsirkan UU. Menjelaskan maksud kewenangan MK dalam memeriksa sengketa hasil Pemilu, ia secara tegas membuat batasan kewenangan MK dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, juncto Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK sebatas sebagaimana ketentuan dalam bunyi pasal-pasal tersebut. 

 

Di sisi yang berbeda, Kuasa Hukum Pemohon PHPU Pilpres, Bambang Widjojanto mendorong majelis hakim MK menggunakan pendekatan substantif justice untuk memeriksa perkara sengketa hasil pemilu yang dimohonkan. “Pendekatan substantif justice akan menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari potensi kehancuran akibat kecurangan,” ujar pria yang kerap disapa BW ini.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait